Penyakit Gugur Daun Karet akibat jamur Pestalotiopsis sp mewabah di sebagian besar perkebunan karet di Sumatera Selatan sehingga menyebabkan terjadinya penurunan produksi getah 15-25 persen.Penyakit gugur bunga ini harus dikendalikan namun lantaran keterbatasan dana yang dimiliki petani membuat sulit dibendung
Peneliti Pusat Penelitian Karet Sumbawa, Banyuasin, Sumatera Selatan, Tri Rapani Febbiyanti yang dihubungi dari Palembang, Selasa, mengatakan, dari total 1.500 hektare kebun karet di Sumbawa dipastikan sudah terpapar sekitar 90 persen.
"Saat ini masih meranggas, kanopi (tutupan daun) bahkan tinggal 10 persen saja. Lebih parah lagi karena ini sedang musim kemarau, jadi ada gugur alami," kata Tri.
Ia mengatakan Pusat Penelitian Sumbawa sudah menerima laporan adanya penyakit Gugur Daun Karet ini pada November 2017, dan diketahui pada Februari 2018 sudah terjadi pengurangan kanopi sekitar 70 persen.
Sejauh ini, sudah dilakukan upaya pembasmian terhadap penyakit tersebut, namun lantaran keterbatasan dana maka hanya bisa dilakukan di areal demontrasi plot (demplot) seluas tujuh hektare. "Ini pun belum terlihat efektifitasnya karena pemupukan yang dilakukan baru bisa diketahui dampaknya setelah enam bulan," kata dia.
Apalagi, ia mengakui bahwa pemupukan yang dilakukan itu terbilang kurang maksimal karena kondisi tanah yang kurang subur. Selain itu, pemupukan juga dilakukan terlambat atau setelah daun muda terbentuk pada 2018 lalu sehingga penyakit gugur daun ini sendiri sudah masuk ke jaringan tanaman.
"Beginilah kondisinya, tapi berdasarkan hasil pembelajaran di 2019 itu, maka kami akan memberikan pupuk pada 2019 ini, tepatnya saat daun muda terbentuk, yang kemungkinannya pada Juli ini," kata dia.
Untuk pemberian pupuk ini, para peneliti juga akan mengamati kondisi iklim karena kemungkinan ada pergeseran iklim karena biasanya daun tumbuh setelah terjadinya beberapa kali hujan.
Penyakit gugur daun ini sudah mewabah karena sudah memapar sebagian besar perkebunan karet di Sumsel dengan luas total 1,3 juta hektera dengan produksi sekitar 1 juta ton karet per tahun. Hal ini disebabkan mudahnya penyebarannya yakni melalui media udara, yang mana spora akan diterbangkan oleh angin.
Secara teori, penyakit gugur bunga ini harus dikendalikan namun lantaran keterbatasan dana yang dimiliki petani membuat sulit dibendung.
Apalagi, saat ini harga karet sedang jatuh sehingga sudah lama petani tidak melakukan pemupukan untuk melindungi tanamannya. "Jika ini tidak diatasi maka akan lebih parah lagi tahun ini, jika pun terbentuk daun baru maka ukurannya akan kecil sehingga tutupan di kebun karet akan berkurang," kata dia.
Terkait ini, sebelumnya pada 31 Juli 2018, puluhan ilmuan dari 14 negara berkumpul di Palembang, 31 Juli-1 Agustus 2018 dalam kegiatan International Plant Protection Workshop, di antaranya dari China, Jepang, Brasil, Pantai Gading, Malaysia, Filiphina, dan Thailand.
Pertemuan yang diselenggarakan Pusat Penelitian Karet Indonesia dan International Rubber Development Board (IRRDB) berharap menemukan melahirkan solusi efektif atas persoalan gugur daun yang menyerang perkebunan karet Indonesia.
Kejadian ini pernah menimpa Brazil sehinggai negara tersebut hingga kini tidak bisa lagi menanam karet karena terkena penyakit "gugur daun Amerika Selatan" pada tahun 1998.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono mengatakan pemerintah sudah mengetahui persoalan ini.
Dalam waktu dekat akan dilakukan beberapa upaya diantaranya, bantuan fungisida (bersama pemerintah daerah), memberikan bimbingan teknik pengendalian penyakit kepada petugas dan petani pekebun, serta memberikan pengawalan kepada petani pekebun dalam rangka pemeliharaan kebun dan pengendalian penyakit tersebut.
Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019