Hutan dan Masyarakat Adat Seberuang

2 Juli 2019 15:14 WIB
Hutan dan Masyarakat Adat Seberuang
Fransiskus Bakir (H Putra)
"Dari hutan kami dapat sumber makanan seperti babi liar, kijang dan ikan dengan mudah. Beragam tumbuhan untuk obat juga tersedia setiap saat dan itu tanpa bayar".

Kata-kata itu terucap dari mulut Fransiskus Bakir, (37) seorang petani dari suku Dayak Seberuang dari Desa Riam Batu, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang Kalimantan Barat, Kamis (27/6).

Desa Riam Batu berjarak 77 kilometer dari Kota Sintang, atau 464 kilometer dari Kota Pontianak. Dari Kota Sintang, waktu tempuh ke desa tersebut mencapai 5 jam perjalanan darat melewati jalan penuh lumpur.

Sebanyak 264 Kepala Keluarga (KK) atau 961 jiwa Masyarakat Adat (MA) Suku Dayak Seberuang bermukim di Riam Batu yang memiliki hutan adat dengan luas 2.936,59 hektare di dalam kawasan hutan lindung dengan peruntukan perladangan sebesar 19,13 persen dan pemukiman 0,27 persen.

Dalam mengelola wilayah adat, MA Seberuang Riam Batu memiliki tata kelola yang telah mereka lakukan secara turun temurun. Mereka telah menetapkan kawasan hutan adat yang dijaga secara turun temurun, kawasan perladangan, gupung yaitu hutan tengkawang, durian dan buah-buahan, tembawang perkebunan khususnya perkebunan karet.

Seperti juga yang terjadi di banyak komunitas masyarakat adat, permukiman Riam Batu beserta ladang dan kawasan yang diklaim sebagai hutan adat, berdiri di atas wilayah hutan lindung. Pemerintah Desa Riam Batu kini tengah mengupayakan penerbitan Surat Keputusan (SK) tentang hutan adat dari Pemerintah Kabupaten Sintang, sebagai turunan Perda No. 12 Tahun 2015 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kelembagaan Adat dan Masyarakat Hukum Adat. Pengesahan ini akan menjadi legitimasi dari pemanfaatan nilai ekonomis hutan adat sebagai sumber penghidupan masyarakat adat.

Hasil hutan yang berlimpah seperti rotan dan bambu liar dimanfaatkan warga untuk membuat topi anyaman, tas, tikar dan alat perangkap ikan seperti bubu. Kepala Desa Riam Batu Sebastianus Muntai menuturkan mereka kini mulai menggiatkan kerajinan tangan, rotan, damar dan sebagainya yang semuanya berasal dari hasil hutan untuk menambah ekonomi masyarakat.

Secara legal, masyarakat yang mengambil hasil hutan lindung akan dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan. Namun berdasarkan Putusan MK No 35/2012 tentang Hutan Adat, masyarakat adat bebas dari sanksi tersebut. Syaratnya, ada pengakuan masyarakat dan hutan adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang diawali dengan SK Bupati Sintang.

Peneliti Conservation Strategy Fund (CSF) Indonesia Aziz Khan menjelaskan, hingga kini SK Bupati Sintang tak kunjung turun meski Perda yang membawahinya telah terbit sejak 2015. Dia mengatakan, ada keraguan dari pihak legislatif dan eksekutif atas potensi ekonomi masyarakat adat dalam mengelola wilayahnya.

Ada kecurigaan bahwa keberadaan masyarakat adat akan menjadi faktor penghambat investasi, kata Aziz.

Sementara hasil studi tim ekonomi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bekerja sama dengan Aziz Khan pada Februari-April 2018, menunjukan nilai ekonomi per kapita per tahun wilayah Masyarakat Adat Seberuang sebesar Rp36,45 juta, lebih besar ketimbang Produk Domestik Bruto Daerah (PDRB) pertahun Kabupaten Sintang Rp27,89 juta tahun 2016.

Aziz menuturkan, masyarakat adat Seberuang pada dasarnya memerlukan dukungan dari pemerintah dalam hal regulasi yang mengakui dan melindungi hak-hak mereka sebab regulasi seperti ini menjadi pembebas bagi masyarakat adat untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam yang mereka miliki untuk kemakmuran.

Menjaga alam

Masyarakat Adat Dayak Seberuang secara turun temurun menjaga hutan dari kerusakan dengan cara tidak mengambil hasilnya seperlunya saja dan tidak berlebihan.

Setiap usai musim panen yang berlimpah, masyarakat mengadakan upacara adat Gawai "Mulai Kebuah" , satu ritual ungkapan rasa syukur kepada roh penghuni hutan yang menjaga buah buah yang mereka panen.

Gawai biasanya secara meriah diadakan di setiap dusun yang ada di sepanjang desa Riam Batu, tak jarang warga memanggil hiburan organ tunggal dari kecamatan untuk mengisi acara pesta panen ini.

Seperti pada Kamis (27/6), warga Dusun Lanjau, Desa Riam Batu kebetulan sedang menggelar acara gawai. Sebuah panggung kecil dibangun ditengah lapangan dusun, benda benda pusaka dan keramat turut dihadirkan di atas panggung tersebut. Beberapa tempayan kuno dan senjata tajam khas Dayak berupa mandau dan tombak tidak lupa disertakan.

Seorang tokoh adat, Pansih (74) menjadi pemimpin dalam ritual sakral ini, bibirnya komat kamit membaca mantra dan sesekali mengibas asap dupa yang aromanya menambah kesan mistis di panggung.

Puncak ritual, penyembelihan ayam dan babi dilaksanakan sebagai tolak bala dan warga dijauhkan dari segala penyakit usai memetik panen. Ayam akan dihanyutkan ke sungai sedangkan babi akan dinikmati warga dengan minuman tuak khas dayak.

Persiapkan sekolah adat

Saat ini Masyarakat Adat Suku Seberuang mendapat pendampingan dari Pengurus Daerah (PD) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Sintang yang diketuai Antonius Antong yang juga merupakan putra asli Seberuang.

Antong mengatakan sedang mempersiapkan pembukaan Sekolah Adat di Riam Batu untuk menjaga tradisi dan budaya Masyarakat adat suku dayak Seberuang.

Selain sekolah adat, mereka juga sedang meminta pengakuan dari pemerintah untuk mengelola hutan adat yang ada di desa Riam Batu untuk mengembangkan ekonomi masyarakat adat.

Desa Riam Batu adalah potret salah satu desa di pedalaman Kalimantan Barat. Meski tanpa infrastruktur yang baik seperti tidak adanya sinyal telekomunikasi, namun desa tersebut terus berbenah. Warga pun senantiasa bersenandung untuk menjemput impian mereka.

Baca juga: Dewan adat kumpul di Pekan Gawai Dayak di Pontianak

Baca juga: Sekjen KLHK dorong KPH Kalbar dampingi masyarakat kelola hutan


 

Pewarta: H Putra/Teguh Imam Wibowo
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019