Kementerian Perindustrian mengupayakan untuk memperkecil defisit neraca ekspor-impor industri farmasi, yang pada 2018 sebesar 1.136 juta dolar AS atau meningkat dibandingkan tahun 2017 sebesar 1.101 juta dolar AS.
“Salah satunya dengan insentif untuk menarik investasi, terutama di sektor hilir, yakni bahan baku farmasi yang masih banyak impor,” kata Direktur Jenderal Industri Kimia Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Selasa.
Sigit meyakini, insentif pajak berupa tax holiday dan tax insentif mampu menarik investasi sektor farmasi untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
“Ada juga super deduction tax yang mengurangi pajak 200 persen untuk industri yang terlibat dalam program vokasi dan 300 persen untuk yang berkontribusi sektor research and development (R&D),” ujar Sigit.
Sigit menambahkan, industri farmasi adalah industri yang memiliki karakteristik padat modal (capital intensive), high technology, R&D intensive, heavily regulated,dan fragmented market.
Saat ini industri farmasi di dalam negeri ada 206 perusahaan, dan didominasi oleh 178 perusahaan swasta nasional, serta diikuti sebanyak 24 perusahaan Multi National Company (MNC) dan 4 perusahaan BUMN.
Industri farmasi dalam negeri termasuk industri yang telah lama berdiri dan mampu memenuhi 75 persen kebutuhan obat dalam negeri.
Namun industri farmasi ini masih terkendala pasokan bahan baku dari dalam negeri, sehingga hampir 90 persen bahan bakunya masih dipenuhi dari impor.
Baca juga: Industri farmasi Indonesia diharapkan tidak tergantung bahan impor
Baca juga: 90 persen bahan baku obat Indonesia masih impor
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019