Seorang warga Solo aksi tolak sistem PPDB

2 Juli 2019 18:01 WIB
Seorang warga Solo aksi tolak sistem PPDB
Seorang warga Solo melakukan aksi tunggal tolak PPDB di Bundaran Gladag Jalan Slamet Riyadi Surakarta, Selasa (2/7/2019). (ANTARA/Bambang Dwi Marwoto)
Seorang warga Solo melakukan aksi tunggal di Jalan Slamet Riyadi, Bundaran Gladag, Surakarta, Jawa Tengah, Selasa, menolak sistem seleksi penerimaan peserta didik baru (PPDB) 2019, karena dianggap merugikan para siswa yang berprestasi.

Aksi tunggal yang dilakukan oleh pegiat sosial dan pendidikan di Solo, Bambang Saptono, dalam orasinya menyebutkan sistem PPDB penerapan zonasi tidak sesuai dengan target untuk membangun asas keadilan dalam hal kualitas pendidikan.

Bahkan, Bambang Saptono menyatakan hal itu, juga dapat menimbulkan praktik-praktik manipulasi karena sistem administrasi kependudukan yang masih lemah.

Selain itu, Bambang yang melakukan aksi tunggalnya juga menggelar sejumlah poster bertuliskan "PPDB Diulang", Tolak PPDB Zonasi Karena Bermasalah"; "Tolak Zonasi", dan "Hargai Prestasi".

Baca juga: Kak Seto: manfaat penerapan zonasi terlihat 5-10 tahun mendatang

Dia menilai praktik kecurangan tersebut merusak kualitas pendidikan nasional. Seleksi PPDB online 2019 harus diulang karena jelas merugikan siswa dan orang tua murid.

Bambang meminta pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) agar menghentikan PPDB sistim online dan mengubahnya dengan sistem PPDB offline, karena ditemukan surat keterangan domisili (SKD) palsu di sejumlah sekolah SMAN di Solo.

Dia mengaku pihaknya menemukan SKD palsu di sejumlah sekolah SMAN di Solo. Akibat SKD itu, para siswa yang mau mendaftar sekolah terpental ke sekolah lebih jauh. Padahal, jarak antara rumah dan sekolah hanya sekitar 8 kilometer. Mereka menjadi terlempar di sekolah jauh berjarak 10 kilometer dari tempat tinggalnya.

Baca juga: Ganjar temui orang tua siswa yang bingung hadapi proses PPDB

Menurut dia banyak sekolah sudah penuh dengan zonasi terjauh di bawah 2,5 Km. Sementara banyak anak yang tinggal di bawah jarak 2 Km dari sekolah justru belum mendaftar.

Yang jadi pertanyaan, bagaimana sistem itu akan mencarikan anak anak yang tinggalnya lebih dari 3 Km dengan sekolah terdekat.
 

Pewarta: Bambang Dwi Marwoto
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2019