Di tengah masa libur sekolah, banyak anak memilih untuk pergi berlibur atau sekadar bermain dengan teman-temannya, namun, bagi dalang cilik asal Jakarta Timur, Rakha Triyawibawa, hari libur sekolah justru digunakan berlatih memainkan lakon wayang dan bersiap untuk menghadapi festival di Solo pada bulan Agustus mendatang.
Saat dijumpai di kediamannya pada Selasa (2/7) sekitar pukul 22:00 malam, Rakha tengah bersiap untuk melatih kemampuan mendalangnya sembari menyusun tokoh-tokoh wayang kulit seperti Hanoman, Gatotkaca, hingga Buto (raksasa). Dia juga menancapkan dua wayang gunungan di sisi kanan dan sisi kiri layar sederhana yang telah disiapkan oleh kedua orang tuanya dengan menggunakan kain berwarna putih, lampu tembak dan bonggol pohon pisang.
Setelah menata ‘panggung’ nya sedemikian rupa, Rakha mulai mempersiapkan teks naskah untuk lakon berjudul Gatotkaca Jedi yang akan dia mainkan dalam latihan kali ini.
Lakon tersebut mengisahkan perjalanan putra Raden Werkudara, alias Bima dari keluarga Pandawa itu saat dimasukkan ke kawah candradimuka agar menjadi besar dan mampu membunuh raksasa.
"Kalau libur latihannya malam tidak apa-apa, tapi kalau hari sekolah, paling terlambat jam delapan malam sudah harus mulai latihan supaya tidurnya tidak terlalu malam dan bisa bangun sekolah,” kata Rakha tanpa berpaling dari layarnya yang juga dihias beberapa lampu kecil berwarna-warni.
Kala dia memanaskan suaranya untuk memerankan Gatotkaca yang gagah, dan gemuruh menakutkan suara raksasa, sang pelatih, Purwanto, mempersiapkan dua buah alat musik yang akan dipakai berlatih yakni gamelan dan gendang.
Purwanto, yang juga seorang dalang, telah mengajar Rakha selama kurang lebih tiga tahun. Pada saat itu, Rakha sudah memiliki minat terhadap perwayangan, namun belum bisa berlakon.
“Itu harus sabar, anak-anak itu ketika baru bisa pegang wayang susah untuk diarahkan karena dia inginnya yang spektakuler langsung, makanya kita harus nunggu dengan sabar hingga dia bisa menerima materi,” katanya.
Yang paling sulit untuk diterapkan, terutama terhadap dalang cilik, kata Purwanto, adalah menyeimbangkan ‘sabetan’ wayang kulit dengan nada, yang juga dilengkapi dengan nembang atau suluk.
Suluk adalah lagu yang dilantunkan oleh si dalang sendiri untuk memperkuat suasana dalam adegan-adegan pertunjukan dan dilantunkan dalam Bahasa Jawa. Isi suluk bisa bermacam-macam, mulai dari petuah, puji-pujian hingga mantra.
“Menyesuaikan dengan nada-nada itu, susahnya di situ,” kata Purwanto.
Minat sejak balita
Bagi Rakha, yang lahir dan besar di Jakarta, memakan waktu yang tak sebentar untuk dapat menguasai lakon-lakon berbahasa Jawa yang ia mainkan. Namun, kendala itu tidak membuatnya mengurungkan niat untuk belajar mendalang.
Dengan lincah, dia memainkan tokoh-tokoh wayang menggunakan tangannya, sambil sesekali mengetok-ngetok gedog dan membunyikan keprak dengan kakinya, menghasilkan suara-suara khas pertunjukan wayang.
Ibunda bocah berusia 10 tahun itu, Sri Winarti, mengatakan anak bungsunya itu sudah menunjukkan minat terhadap dunia perwayangan sejak dia berusia tiga tahun.
Sri Winarti, seorang penari tradisional Jawa, kerap membawa sang anak menonton pertunjukan wayang di Taman Mini Indonesia Indah sejak ia masih bayi.
“Di usia tiga tahun, dia mulai sering minta diputarkan video wayang, lalu dia berpura-pura mendalang dengan menggerakkan kedua tangannya, kadang dia juga menggunakan kipas,” katanya.
Tokoh wayang pertama yang dimiliki Rakha merupakan pemberian dari dalang urban, Nanang Hape, yang juga merupakan tetangganya.
Ada beberapa alasan di balik kegemaran Rakha terhadap seni wayang kulit dan perdalangan. Salah satunya, dia menyebut wayang seperti mainan boneka versi anak laki-laki.
“Ya perempuan juga bisa sih main wayang, tapi ini seperti boneka untuk anak laki-laki,” katanya.
Selain itu, dia juga senang mempelajari kepribadian dari masing-masing tokoh wayang yang menurutnya sangat berbeda-beda.
“Paling suka Hanoman, karena dia pemberani dan kuat, bahkan tokoh jahat seperti buto (raksasa) memiliki beberapa sifat yang baik, dia tunduk pada raja dan mengabdi. Prajurit Gatotkaca saja buto,” katanya.
Ingin mendalang hingga dewasa
Ketika ditanya apakah ingin menjadi dalang saat tumbuh dewasa nanti, Rakha mengatakan dirinya ingin berprofesi menjadi aparat TNI yang memiliki kemampuan bermain wayang.
Dia ingin terus dapat mendalang meski kesibukannya akan terus bertambah seiring dengan berjalannya waktu.
Sang pelatih, Purwanto, mendukung keinginan siswa kelas lima SD itu. Meski menurut dia dunia perwayangan kini telah banyak berubah, seni itu tetap patut untuk dilestarikan dan diturunkan ke generasi selanjutnya, sebagaimana tradisi mendalang diturunkan oleh kakek buyutnya dalam silsilah keluarga.
“Targetnya nanti agar (Rakha) bisa mendalang semalam suntuk,” katanya.
Dia pun berharap agar dalang masa kini, seperti Rakha, dapat mengikuti perubahan zaman dan dapat menjadi lebih kreatif dalam menampilkan lakon-lakon wayang, agar penonton tetap tertarik untuk menonton.
Salah satunya adalah dengan menggunakan teknologi yang kini mulai menyusupi seni perwayangan, seperti lampu berwarna-warni serta mesin asap yang memperkuat suasana masing-masing adegan.
Dia juga berharap agar para dalang tetap dapat menyisipkan tuntunan, yakni hikmah atau ajaran, dalam setiap pertunjukan agar menjaga esensi dari seorang dalang yakni menyebarluaskan ilmu atau ajaran.
Pertunjukan wayang sendiri telah diakui oleh organisasi pendidikan, keilmuan dan kebudayaan PBB, UNESCO, sebagai warisan budaya (Intangible Cultural Heritage of Humanity) pada tahun 2003 lalu karena nilai budaya yang terkandung di dalamnya sangat tinggi.
Pewarta: Aria Cindyara
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2019