Penurunan ekspor migas disebabkan oleh turunnya ekspor minyak mentah sebesar 82,54 persen dan ekspor industri pengolahan hasil minyak sebesar 14,86 persen
Nilai ekspor minyak mentah di Provinsi Riau pada periode Januari-Mei 2019 turun drastis hingga 82,54 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau di Pekanbaru, Rabu, nilai ekspor minyak mentah jumlahnya sekitar 167,44 juta dolar AS selama Januari-Mei tahun ini. Angka itu sangat jauh ketimbang nilai ekspor pada kurun waktu yang sama pada 2018 yang sekitar 958,76 juta dolar AS.
Ekspor industri pengolahan hasil minyak pada periode yang sama mencapai 120,28 juta dolar AS, juga turun 14,86 persen dibandingkan tahun lalu yang sebesar 141,27 juta dolar AS.
“Penurunan ekspor migas disebabkan oleh turunnya ekspor minyak mentah sebesar 82,54 persen dan ekspor industri pengolahan hasil minyak sebesar 14,86 persen,” kata Kepala Bidang Statistik Distribusi BPS Provinsi Riau, Agus Nuwibowo di Pekanbaru.
Secara keseluruhan, nilai ekspor dari Provinsi Riau pada periode Januari-Mei 2019 sebesar 4,89 miliar dolar AS, dan mengalami penurunan sebesar 26,77 persen dibanding periode yang sama tahun 2018. Penurunan tersebut disebabkan oleh turunnya ekspor minyak dan gas (migas) dan nonmigas masing-masing sebesar 73,84 persen dan 17,48 persen.
Ekspor migas memberikan kontribusi 5,89 persen terhadap total ekspor Riau, sedangkan sektor nonmigas masih mendominasi dengan sumbangsih 94,11 persen.
Sementara itu Bank Indonesia (BI) sejak awal tahun ini sudah memprediksi ekspor migas Riau akan makin meredup. Salah satu penyebabnya adalah masa peralihan dalam pengelolaan Blok Rokan di Provinsi Riau dari PT Chevron Pacific Indonesia ke PT Pertamina (Persero), yang bakal membayangi pertumbuhan sektor migas di daerah itu, setidaknya dalam tiga tahun ke depan.
Dalam kajian ekonomi dan keuangan regional BI Provinsi Riau disebutkan, sektor pertambangan dan penggalian minyak dan gas masih cenderung melanjutkan tren kontraktif pada 2019. Lifting minyak bumi Riau dalam lima tahun terakhir turun 5 sampai 10 persen per tahun, sejalan dengan banyaknya sumur yang tua.
"Telah ditetapkannya PT Pertamina menjadi kontraktor kontrak kerja sama Blok Rokan pada 2021 mendatang menggantikan PT Chevron Pacific Indonesia semakin mempertegas bahwa pengembangan enhance oil recovery secara skala penuh tidak akan begitu signifikan, setidaknya hingga 2021," kata Kepala Divisi Advisory dan Pengembangan Ekonomi BI Riau, Iwan Mulawarman.
Selama ini Chevron sangat membanggakan keberhasilan teknologi EOR (Enhance Oil Recovery) untuk menekan laju penurunan alami produksi minyak di Riau, khususnya Blok Rokan yang merupakan ladang minyak terbesar di Indonesia.
Penurunan produksi minyak secara alami dan masa transisi Blok Rokan tentu membawa konsekuensi bagi pertumbuhan ekonomi Riau, salah satunya adalah akibat pengaruh lifting minyak yang menurun. Sumbangsih sektor pertambangan dan penggalian dalam menyusun perekonomian Riau juga terus melemah.
Pada 2010 sektor tersebut menyumbang sekitar 32,6 persen perekonomian Riau, artinya sebesar itulah pendapatan masyarakat Riau disumbang baik langsung maupun tidak langsung dari sektor pertambangan dan penggalian. Kondisi di 2018 sangat berbeda jauh, karena sumbangsih tersebut hanya tinggal 19,1 persen.
Rata-rata pertumbuhan ekonomi Riau 2012-2018 hanya mencapai 2,35 persen per tahun. Dengan pertumbuhan relatif rendah ini, pangsa volume ekonomi riil Riau menyumbang ekonomi nasional menurun dari sekitar 5,7 persen pada 2010 menjadi tinggal 4,6 persen pada 2018.
Karena itu, Iwan mengatakan pemerintah daerah harus benar-benar serius mencari potensi pertumbuhan lainnya di luar sektor migas. Apabila Riau masih mengandalkan sektor tersebut, maka ke depan perekonomian di Riau dikhawatirkan bakal terpuruk.
Baca juga: Minyak naik tipis di Asia, setelah sempat turun tajam
Baca juga: Harga minyak anjlok di atas 4 persen, walaupun OPEC pangkas pasokan
Pewarta: FB Anggoro
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019