"Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDP) cukup bagus, namun sepertinya Tanjungpinang belum siap karena fasilitas di setiap sekolah tidak sama," katanya.
Ia mengemukakan banyak warga yang merasa dirugikan akibat kebijakan tersebut. Kerugian tersebut disebabkan sistem zonasi yang diterapkan membuat pelajar yang tidak diterima pada tiga sekolah yang diajukan melalui sistem daring, tidak tahu harus sekolah di SMPN lainnya.
Semestinya, kata dia Disdik Tanjungpinang menyosialisasikan kepada masyarakat terkait apa yang harus dilakukan setelah gagal masuk ke salah satu sekolah yang diajukan.
"Ada oknum petugas di sekolah yang malah menyarankan kepada orang tua siswa yang tidak lolos masuk SMPN, mendaftar di sekolah swasta. Ini 'kan tidak memberi solusi yang tepat, karena mereka memiliki hak yang sama sekolah di SMPN," katanya.
Reni mengemukakan sekolah swasta cukup mahal sehingga tidak semua orang tua mampu membiayai putera-puterinya.
"Semestinya sekolah yang ditawarkan SMPN, kecuali memang atas keinginan orang tua tersebut untuk menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah swasta," katanya.
Reni mengatakan sistem zonasi perlu dievaluasi karena ruang kelas dan jumlah kursi di SMPN masih terbatas. Siswa yang tinggal di kawasan pasar, contohnya, ditolak masuk SMPN 1 maupun SMPN 4, padahal jarak rumah mereka ke sekolah hanya 1 km. Artinya, sistem hanya menerima siswa yang benar-benar tinggal di sekitar sekolah.
"Mereka juga harus menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah yang jaraknya lebih jauh. Ini juga membebani orang tua karena harus membayar uang transportasi setiap hari sekolah," katanya.
Menyikapi permasalahan itu, Reni mengatakan DPRD Tanjungpinang telah rapat dengar pendapat dengan Disdik Tanjungpinang. "Senin pekan depan akan dipanggil lagi," ujarnya.*
Baca juga: Peserta PPDB daring "serbu" warnet di hari pertama
Pewarta: Nikolas Panama
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019