Hal ini disampaikan Idhar saat diskusi bedah bukunya yang digelar Kios Ojo Keos, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Sabtu.
“Ini tidak seperti biografi biasa yang banyak mendramatisir sisi kehidupan bandnya,” kata Idhar.
Menurut dia, sebelum Pure Saturday muncul pada 1994, sebagian anak muda Bandung memang sudah banyak mendapat referensi musik luar seperti indie pop dari Inggris.
Padahal musik-musik ini tidak dirilis di dalam negeri.
“Jadi sudah ada komunitas skateboard di Taman Lalu Lintas sejak 80-an yang diisi oleh anak-anak muda kosmopolit dan punya akses mendapat informasi dari luar negeri termasuk musik,” ucap dia.
Dari fenomena tongkrongan ini referensi musik yang masih terbilang ekslusif mulai dinikmati oleh anak-anak yang kerap main papan luncur di sini. Salah satunya Adhie dan Udhie, personel Pure Saturday yang kala itu mengisi lini gitar dan drum.
“Selain itu ada juga peran interpersonal dari teman mereka yang memengaruhi referensi musik tadi,” ujar dia.
Dia juga tak memungkiri kalau fenomena tongkrongan dan jejaring sangat mempengaruhi perkembangan komunitas kreatif di Bandung tak terkecuali musik.
“Dulu juga sebenarnya Bandung daerah yang kecil di mana orangnya itu-itu saja,” ucap dia.
Selain itu, fenomena lain yang mengisi perkembangan skena musik di Bandung adalah kecenderungan snobisme.
Sejak 70-an, banyak band yang membawakan lagu band luar di panggung untuk sekadar memuaskan penontonnya. Pure Saturday juga sempat mengalami masa itu meski kemudian lebih eksis lewat lagunya sendiri.
Untuk diketahui, Pure Saturday adalah band berkarakter indie pop dari Bandung yang muncul pada 1994.
Dimulai oleh kuintet Suar (vokal, gitar), Adhi (gitar), Udhi (drum), Ade Muir (bass), dan Arief (gitar), Pure Saturday telah merilis empat album studio dan satu album kompilasi.
Saat ini, Pure Saturday masih eksis walaupun hanya menyisakan tiga personel saja yaitu Iyo (vokal sejak 2000-an) serta Arief dan Ade Muir.
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019