Hal itu dikatakan Komisioner Komnas Perempuan Siti Nurherawati di Jakarta, Senin, menanggapi alasan Mahkamah Agung (MA) tidak menggunakan PERMA 3/2017 pada putusan kasasi kasus Baiq Nuril.
Mahkamah Agung menyatakan PERMA 3/2017 tersebut hanya dapat digunakan untuk perempuan yang berhadapan dengan hukum yaitu perempuan berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai saksi, perempuan sebagai korban dan perempuan sebagai pihak.
"Perempuan berkonflik dengan hukum itu salah satunya adalah sebagai terdakwa, itu artinya PERMA ini bisa dipakai baik pada hukum tata usaha negara, baik dalam peradilan agama, pidana dan pedaranya," kata dia.
Dia mengatakan PERMA 3/2017 tersebut sudah lengkap, oleh sebab itu Komnas Perempuan mendorong Mahkamah Agung untuk mengeluarkan SOP agar para hakim tahu yang harus mereka lakukan kepada perempuan yang berhadapan dengan hukum.
Mahkamah Agung juga menyebutkan perkara yang menjerat Baiq Nuril adalah UU ITE, maka tidak bisa dicampurkan dengan masalah pelecehan seksual.
Komnas Perempuan memandang pendapat Mahkamah Agung tersebut tidak berprespektif gender, dalam menilai kasus tersebut hakim harusnya melihat latar belakang orang yang duduk sebagai terdakwa.
"Harus dilihat dia mengalami ini karena apa, ternyata karena dia mengalami pelecehan seksual. Karena konstruksi hukum terkait pembuktian tidak cukup dan dia ingin membuktikan dirinya tidak ada hubungan dengan pelaku maka dia merekam," kata dia.
Rekaman itu juga sempat disimpan oleh Baiq Nuril, hingga ada pihak yang meyakinkan dia akan memberikan bantuan dan dukungan baru dia berani untuk mengeluarkan rekaman tersebut.
"Alasan-alasan ini harusnya menjadi pertimbangan hakim. Jadi jika hanya menyebut dia sebagai melanggar UU ITE maka itu normatif saja, tetapi tidak melihat latar belakangnya," kata dia.
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019