• Beranda
  • Berita
  • Kadin sambut aturan pelaksanaan UU Jaminan Produk Halal

Kadin sambut aturan pelaksanaan UU Jaminan Produk Halal

9 Juli 2019 13:27 WIB
Kadin sambut aturan pelaksanaan UU Jaminan Produk Halal
Ketua Komite Tetap Timur Tengah dan OKI Kadin Indonesia Fachry Thaib (kanan). (Dokumentasi Kadin)
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyambut baik Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 tahun 2019 tentang Pelaksanaan atas Undang Undang (UU) Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo.

"Kami sangat bersyukur, karena sejak awal pembahasan PP melalui beberapa sarana komunikasi dan forum diskusi, kami aktif menyampaikan ide dan usulan kepada pemerintah. Kami berharap kepada pemerintah agar UU dan PP JPH ini dapat diimplementasikan dengan baik serta tidak menimbulkan restriksi di dalam masyarakat dan pelaku usaha," kata Ketua Komite Tetap Timur Tengah dan OKI Kadin Indonesia, Fachry Thaib di Jakarta, Selasa.

Pihaknya optimis bahwa PP JPH ini tidak akan menyulitkan dunia usaha termasuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Bahkan, menurutnya UMKM akan diperlakukan khusus, terutama dalam upaya meringankan biaya sertifikasi.

"Agar UU dan PP ini dapat diimplementasikan secara optimal, harus ada upaya 'trickle down effect' yang maksimal, sehingga manfaatnya dapat segera dirasakan pada semua strata pelaku usaha terutama UMKM," katanya.

Seperti diketahui, saat ini UMKM menyumbang hingga lebih dari 60 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dan secara jumlah usaha kecil di Indonesia mencapai 93,4 persen, kemudian usaha menengah 5,1 persen, dan yang besar baru 1 persen.

Menurut Fachry, di samping perangkat peraturan yang dapat diartikan sebagai upaya "top-down", maka harus ada upaya yang bersifat "bottom-up", yaitu penerapan upaya literasi terutama kepada para pelaku UMKM, bagaimana menumbuhkan karakter pelaku usaha sehingga mereka memahami bahwa produk halal dapat meningkatkan dan memperkuat pertumbuhan usaha mereka.

Dia menjelaskan industri halal tidak dapat dilepaskan dari teknologi, karena persaingan bisnis barang konsumtif halal, berkualitas dan "healthy" (halalan thoyyiban) akan sangat bergantung kepada teknologi yang digunakan.

Di Indonesia, teknologi pangan (food science) telah berkembang cukup pesat dan bahkan di beberapa universitas besar telah dibuka program studi (prodi) teknologi pangan.

Oleh sebab itu, di dalam industri produk makanan halal harus diikutsertakan perguruan tinggi dan akademisinya sebagai bagian dari elemen rantai bisnis industri produk halal, karena mereka memiliki fasilitas dan program riset produk halal.

Sementara itu, persaingan ekspor produk halal dunia meningkat secara signifikan seiring dengan peningkatan pertumbuhan konsumen produk halal. Hal ini menjadi salah satu topik bahasan dalam acara Sidang Tahunan Islamic Chamber of Commerce, Industry and Agriculture (ICCIA) di Jakarta pada Oktober 2018 yang lalu.

Selama tahun 2018 diperkirakan perdagangan produk halal mencapai 2,8 triliun dolar AS yang terdiri 1,4 triliun dolar AS adalah perdagangan makanan dan minuman, lalu 506 miliar dolar AS perdagangan obat dan farmasi, kemudian kosmetik sebesar 230 miliar dolar AS dan produk lainnya sebesar 660 miliar dolar AS.

"Kami mengajak semua elemen pelaku usaha baik untuk perdagangan domestik dan ekspor agar segera menyiapkan diri dalam menyongsong era halal Indonesia. Dalam persaingan pasar regional ASEAN kita masih jauh tertinggal dari Malaysia, Thailand dan Singapore. Para pelaku usaha nasional harus bersatu untuk mengejar ketertinggalan ini dan merebut sebanyak mungkin pangsa produk halal global," pungkas Fachry.

Baca juga: Kemenag uji sahih regulasi jaminan produk halal
Baca juga: Halal Watch ajukan uji materi peraturan pemerintah soal produk halal
Baca juga: Gabungan pengusaha gencarkan sosialisasi sertifikasi halal ke UMKM

 

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019