"Pengecualian ini harus ada indikator yang jelas serta jangan menimbulkan multitafsir dan harus tegas," kata dia, saat dihubungi di Jakarta, Selasa.
Hal itu ia sampaikan terkait telaah yang dilakukan pemerintah untuk mengakomodasi pengecualian seperti proyek strategis nasional dan hasil survei hutan alam maupun lahan gambut.
Ia menerangkan jika kriteria atau indikator yang dikeluarkan pemerintah masih multitafsir, maka masih ada celah bagi pihak tertentu dalam mengakali moratorium hutan primer dan gambut tersebut.
Oleh sebab itu, para pemangku kepentingan diminta menyusun secara baik agar tidak menimbulkan polemik di kemudian hari. Sebagai contoh kasus PT HIP di Buol Sulawesi Tengah.
Pada kasus itu ia menilai kurangnya sinkronisasi komunikasi pemerintah pusat dengan daerah sehingga menimbulkan masalah baru. Padahal, masalah itu dapat diatasi jika pemerintah saling terbuka.
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Teguh Surya juga meminta pemerintah agar memperjelas secara detail terkait kebijakan moratorium hutan primer dan gambut yang akan dipermanenkan.
"Perpanjangan ini harus jelas definisinya, karena yang sering merepotkan masalah detailnya," kata dia.
Oleh sebab itu, ia berpandangan pemerintah perlu memperjelas seperti apa detail moratorium hutan primer dan gambut yang akan diterapkan sehingga tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari.
Ia juga menyayangkan terkesan pemerintah menutup ruang partisipasi masyarakat untuk memberikan penguatan atas rencana mempermanenkan moratorium hutan primer dan gambut.
"Maksudnya kita masyarakat sipil, terutama masyarakat sekitar hutan tidak pernah dikonsultasikan atau diajak terkait subtansinya," katanya.
Baca juga: Pakar minta pemerintah komitmen terapkan moratorium hutan primer
Baca juga: Madani: Moratorium hutan primer-gambut harus miliki nilai tambah
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019