Membumikan tiket pesawat yang betah "melangit"

10 Juli 2019 18:50 WIB
Membumikan tiket pesawat yang betah "melangit"
Illustrasi: Pesawat Citilink

Pengaturan tarif mungkin bisa membawa manfaat namun sifatnya sangat mikro dan tidak seimbang

Persoalan harga tiket pesawat belum kunjung benar-benar terpecahkan sejak muncul ke permukaan pada akhir 2018 hingga saat ini.

Solusi terus dicari guna memecahkan persoalan yang saat ini menyangkut masyarakat akar rumput itu.

Pasalnya, beberapa tahun silam, bepergian dengan pesawat masih dinilai mewah dan hanya bisa dilakukan oleh kalangan kelas atas.

Namun, berbeda halnya dengan lima tahun terakhir di mana harga tiket pesawat bisa dijangkau oleh kelas menengah seiring dengan persaingan bisnis maskapai yang gencar menawarkan promo dan harga tiket murah.

Tak ayal, ketika terjadi kenaikan harga tiket, masyarakat langsung mengeluhkan lewat sosial media, sehingga menjadi viral.

Pemerintah, dalam hal ini, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mulai mengumpulkan seluruh operator penerbangan, mulai dari maskapai, operator bandara hingga operator navigasi penerbangan untuk mencari solusi bersama, di antaranya mengeluarkan insentif untuk mengurangi beban biaya operasional.

Salah solusi yang dikeluarkan Kemenhub adalah menerbitkan Peraturan Menteri (PM) Nomor 20 Tahun 2019 tentang Tata Cara dan Formulasi Perhitungan Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.

Selain itu, Kemenhub juga merilis turunan aturannya dalam bentuk Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 72 Tahun 2019 Tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.

Dalam PM 20/2019 ditetapkan tarif batas bawah dinaikkan menjadi 35 persen dari tarif batas atas yang sebelumnya 30 persen dari tarif batas atas pada PM 14 Tahun 2016. Namun, upaya tersebut belum kunjung mampu menurunkan tiket pesawat yang masih betah "melangit".

Pada akhirnya permasalah tiket pesawat ini harus dibawa ke Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan dilakukan sejumlah rapat koordinasi.

Salah satu hasilnya adalah pemerintah dan maskapai sepakat menentukan besaran penurunan harga tiket pesawat berbiaya murah atau Low Cost Carrier (LCC) sebesar 50 persen dari tarif batas atas pada hari dan jam tertentu.

“Penerbangan murah disediakan oleh pemerintah untuk jadwal keberangkatan pada hari Selasa, Kamis, dan Sabtu mulai pukul 10.00 sampai 14.00 untuk penerbangan LCC domestik tipe pesawat jet, dengan memberikan penurunan tarif 50 persen dari TBA LCC, untuk alokasi kursi 30 persen dari total kapasitas pesawat,” ujar Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono.

Kebijakan yang ditetapkan pemerintah guna menyediakan penerbangan murah domestik jadwal tertentu, di antaranya untuk Citilink sejumlah 62 per hari per hari (Selasa, Kamis, dan Sabtu) dengan total saat ini 3.348 kursi.

Adapun untuk Lion Air Group sejumlah 146 penerbangan per hari (Selasa, Kamis, dan Sabtu) dengan total saat ini 8.278 kursi.

Kebijakan tersebut mulai efektif pada Kamis (11/7) besok di mana penerbangan yang ditetapkan sebagai penerbangan murah ini akan mengikuti mekanisme izin rute dari Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub. Berikut juga pengawasan atas kebijakan ini akan dilaksanakan oleh Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub.

Untuk mengawal pelaksanaan kebijakan ini akan dilakukan rapat pengawasan dan monitoring secara periodik.


Belum efektif

Namun, menurut President Director Aviatory Indonesia Ziva Narendra Arifin, skema tersebut tidak efektif dan hanya bersifat sementara karena permasalahan beban biaya merupakan permasalahan industri maskapai secara keseluruhan, bukan sektoral.

“Pengaturan tarif mungkin bisa membawa manfaat namun sifatnya sangat mikro dan tidak seimbang,” ujarnya.

Ia menyarankan pemerintah daerah turut berkontribusi dalam menurunkan tiket pesawat dengan memberikan subsidi.

“Saya merasa strategi insentif berupa subsidi dari pemerintah daerah yang terlayani akan bisa lebih menopang kelangsungan pelayanan transportasi udara publik, selagi melalui masa-masa sulit ini,” katanya.

Dia menjelaskan selama ini pemda sudah memberikan subsidi, namun kepada penerbangan tidak berjadwal atau carter.

Namun, menurut dia, dalam kondisi khusus seperti sekarang di mana beban industri penerbangan sangat berat, peran pemerintah pusat serta daerah justru akan sangat penting.

Hal senada disampaikan Direktur Utama AirAsia Indonesia Dendy Kurniawan. Ia menuturkan maskapai sudah memiliki cara dan strategi sendiri, tidak perlu diatur jam dan hari untuk menurunkan harga tiket pesawat.

“Ini sebetulnya enggak perlu diatur jam dan waktu tertentu. Maskapai pasti punya strategis sendiri di peak hours kayak akhir pekan, pasti enggak usah dibilang akan otomatis. Kalau sepi juga kalau pasang harga mahal kan konyol. Jadi sebetulnya sudah strategi maskapai,” katanya.

Selain itu, lanjut dia, harga yang diberlakukan di AirAsia berjenjang, tidak pukul rata semua satu harga. Artinya dari 180 kursi dalam satu pesawat tidak semuanya harga Rp1 juta, misalnya.

“Di mulai dari Rp300.000 hingga Rp500.000 dan berikutnya, karena kami dimulai dari bawah, secara rata-rata kami masih di bawah dari lain,” katanya.

Dendy mengaku instruksi pemerintah tersebut tidak berpengaruh signifikan kepada operasional AirAsia karena pihaknya sudah memasang harga murah.

“Kalau memang ada rute kami dirasa masih mahal, diminta turunin kami dengan senang hati. Tapi kan ada Tarif Batas Atas yang enggak bisa dilanggar,” katanya.


Kurangi Beban Maskapai

Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai pemerintah jangan hanya membebankan kepada maskapai dan operator penerbangan lainnya.

Ia meminta pemerintah menghapus pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen yang dikenakan dalam pembelian bahan bakar Avtur dan tiket untuk menurunkan tarif tiket pesawat secara signifikan.

"Jika tarif tiket pesawat mau turun signifikan, maka pemerintah harus menghapus PPN tiket sebesar 10 persen dan PPN Avtur sebesar 10 persen juga," katanya.

Menurut dia, di banyak negara tidak ada PPN tiket dan bahan bakar pesawat.

"Jadi, pemerintah harus bersikap fair, jangan hanya maskapai saja yang diinjak agar tarifnya turun, tetapi pemerintah tidak mau berbagi beban," katanya.

Baca juga: Harga tiket pesawat turun 50 persen, berlaku mulai 11 Juli


 

Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019