"Mereka" tak sendiri, di gudang yang terletak di kawasan Cililitan, Jakarta Timur itu. Adapun tumpukan karung berisi lampu bekas, baterai, kabel-kabel, dan aneka peralatan elektronik lain.
Bahkan yang berukuran jumbo pun ada, sekelas mesin cuci dan kulkas. Sekilas, masih ada yang tampak bagus, tetapi jelas sudah tak berfungsi lagi karena telah habis masa pakainya.
Limbah-limbah bekas itu akan dibawa oleh PT Teknotama Lingkungan Internusa, perusahaan pengolah limbah yang memenangi tender proyek pengolahan limbah DLH DKI.
Setiap tahun, DLH DKI mengadakan setidaknya dua kali kegiatan pengangkutan limbah elektronik dan bahan berbahaya dan beracun (B3) ke pabrik pengolah limbah.
Limbah-limbah itu berasal dari pengumpulan di tingkat masyarakat. Mayoritas memang TV tabung (2.753,14 kilogram), lalu lampu (574,66 kilogram), dan baterai (518,35 kilogram).
Pengumpulan limbah elektronik itu dilakukan oleh para petugas DLH di tingkat kecamatan. Tak jarang, mereka memilahnya dari depo sampah yang ada di perumahan-perumahan.
Untuk limbah elektronik, Jakarta Pusat paling banyak, yakni 1.786,61 kilogram, disusul Jakarta Utara (1.149,66 kilogram), Jakarta Selatan (1.027,73 kilogram), Jakarta Timur (921,44 kilogram), dan Jakarta Barat (891,15 kilogram).
Dari data itu, pengumpulan limbah elektronik di DKI Jakarta dari lima kota administratif selama Januari-Mei 2019 jika ditotal mencapai 5.776,59 kilogram atau 5 ton.
Namun, angka tersebut ternyata belum menunjukkan total produksi limbah elektronik dari aktivitas masyarakat karena kegiatan DLH sifatnya hanya pengumpulan.
"Artinya, masih banyak limbah elektronik lainnya yang tidak terkumpul ke kami," kata Kepala Seksi Pengelolaan Limbah B3 DLH DKI Jakarta, Rosa Ambarsari.
Kontak Khusus
Berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan DLH untuk memudahkan masyarakat dalam membuang limbah elektronik, salah satunya dengan menyediakan "drop box e-waste" (kotak sampah khusus limbah elektronik).
Lokasi-lokasi strategis dipilih, seperti 10 halte Transjakarta, yakni Halte Cawang UKI, Kampung Melayu, Matraman, Senen, Kota, Harmoni, Bunderan HI, Tendean, Blok M, dan Ragunan.
Antusias masyarakat dalam menggunakan fasilitas itu pun cukup besar, terlihat dari hasil pengumpulan di 10 halte itu selama enam bulan terakhir yang mencapai 3.640 unit.
"Paling banyak di Halte Ragunan ada 929 unit dan paling sedikit 60 unit di Halte Bunderan HI. Kalau ini, kami hitungnya unit, bukan kilogram," katanya.
Di Stasiun Cikini pun disediakan "drop box e-waste" yang selama enam bulan ini mampu mengumpulkan sebanyak 1.962 unit limbah elektronik.
Pun demikian di perkantoran, di antaranya, Balai Kota DKI, Kantor Wali Kota Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan.
Sebulan sekali, petugas DLH akan mengambil limbah-limbah elektronik yang terkumpul dari "drop box e-waste" untuk dibawa ke gudang DLH DKI Jakarta.
Manfaat "drop box e-waste" pun diakui masyarakat, misalnya Arindra (28). Gadis penyuka makan dan jalan-jalan itu tak sengaja pernah melihat di halte Transjakarta dan mengamatinya karena penasaran.
Selama ini, perantau asal Malang itu mengaku kerap kesulitan membuang perkakas elektroniknya yang sudah rusak dan lebih memilih untuk menyimpannya dalam lemari, meski tahu limbah elektronik berbahaya.
Persoalannya, kata Arin, sapaan akrab bungsu dari tiga bersaudara yang sudah lama bekerja di Jakarta, tidak semua orang setiap hari menggunakan moda transportasi massal, termasuk dirinya.
"Kalau bisa, perbanyak lagi deh tempat sampah kayak gitu. Bisa ga sih pemerintah kerja sama, misalnya, ama Indomaret, Alfamart, dan semacamnya? Jadi, bisa dipasang di situ juga," ujarnya, memberi masukan.
Tanggung jawab produsen
Menyoal limbah elektronik, tentu peran produsen sebagai penghasil produk elektronik tidak bisa dilepaskan begitu saja. Mereka tidak bisa hanya membuat, menjual, dan melepasnya begitu saja ke konsumen.
Tanggung jawab produsen, inilah yang sekarang ini coba dimaksimalkan oleh DLH DKI sehingga pengelolaan limbah elektronik tak melulu dibebankan pemerintah daerah.
Tahun ini, DLH DKI menargetkan bisa mengangkut 9.431 kilogram limbah elektronik dan B3 yang berbentuk, sementara, limbah cair sebanyak 1.000 liter.
Namun, target pengangkutan limbah tahun ini ternyata menurun dibandingkan tahun lalu yang mencapai 15.000 kilogram limbah padat dan 1.000 liter limbah cair.
Diakui Rosa, DLH DKI memang menurunkan target pengangkutan limbah elektronik karena ingin ada keterlibatan pihak lain, utamanya produsen untuk ikut bertanggung jawab terhadap pengelolaan limbah tersebut.
Untuk pengolahan limbah elektronik dan B3, pemda harus mengeluarkan anggaran cukup besar setiap tahun untuk melelangkannya kepada perusahaan pengolah limbah.
Sementara dari legislatif, DPRD DKI Jakarta mendorong DLH untuk menyelesaikan persoalan limbah secara komprehensif, misalnya limbah elektronik difokuskan dulu hingga tuntas.
"Kalau tidak bisa satu tahun anggaran, ya, dua tahun anggaran, dan seterusnya. Jangan parsial. Misalnya, tahun ini garap ini, tahun besok ganti garap itu," kata Pantas Nainggolan, anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta.
Meskipun demikian, keberhasilan utama pengelolaan limbah elektronik adalah bergantung pada kesadaran dan pemahaman masyarakat atas bahaya limbah-limbah itu bagi kehidupan dan lingkungan.
Beragam logam berat, macam kadmium, krom, merkuri, dan sebagainya terkandung dalam peralatan elektronik yang bisa mencemari lingkungan jika dibuang serampangan.
Masyarakat sebagai konsumen, diawali dari pribadi, semestinya bijak mengelola limbah elektronik miliknya, setelah menikmati banyak manfaat dan kemudahan darinya, minimal tak sembarangan membuangnya.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2019