Herizal lewat keterangan pers yang diterima di Jakarta, Sabtu, mengatakan perbedaan alat ukur itu memicu ketidaksamaan persepsi mengenai standar kualitas udara.
Dia mencontohkan udara di Jakarta dinyatakan buruk didasarkan pada aplikasi pemantau kualitas udara global Air Visual. Pada Juni-Juli pengukuran Air Visual mengindikasikan indeks kualitas udara yang masuk ke dalam kategori tidak sehat.
Padahal, menurut dia, alat ukur itu terdiri dari kombinasi alat milik pemerintah, Kedutaan AS, Greenpeace dan perorangan.
Sensor udara "low cost" milik Greenpeace dan perseorangan, kata dia, memiliki tingkat keakuratan yang berbeda sehingga terjadi ketidaksamaan kesimpulan mengenai kualitas udara terkini.
"Pengukuran menggunakan instrumen yang tidak terstandar dan tidak terkalibrasi umumnya menghasilkan tingkat akurasi yang lebih rendah disebabkan metode pengukuran yang lebih sederhana," kata dia.
Dia mengatakan konsentrasi partikulat hasil pengukuran sensor "low cost" cenderung menyimpang jauh dari pengukuran instrumen standar yang dimiliki umumnya oleh lembaga-lembaga pemerintah.
Pengukuran udara di Jakarta oleh BMKG, kata dia, menunjukkan konsentrasi partikel polutan memiliki variasi harian yaitu pada jam-jam tertentu mencapai nilai konsentrasi tinggi saat jam sibuk transportasi padat dan konsentrasi rendah pada waktu lain.
"Perubahan konsentrasi PM10 selama 24 jam menjadi Indeks Standar Pencemar Udara/ISPU menghasilkan nilai berkisar 65–88 kategori sedang," katanya.
Kualitas udara sedang, kata dia, berarti tidak memberikan efek bagi kesehatan manusia atau hewan tetapi dapat berpengaruh pada kelompok sensitif dengan gangguan pernafasan dan kardiovaskular. Selain itu, dapat mengurangi nilai estetika udara pada waktu tertentu.
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019