Koperasi yang kita kenal sekarang adalah koperasi yang sudah dikerdilkan dan dimulai sejak rentetan UU perkoperasian tersebut
Koperasi yang seyogiyanya menjadi penggerak ekonomi kerakyatan justru menghadapi situasi pelik dan dipadang sebagai sesuatu yang kuno, sakit-sakitan dan lekat dengan kemiskinan.
Eksistensinya terus membias jauh dari yang dicita-citakan; besar , kuat, sehat, mandiri, modern, dan tentunya memberantas kemiskinan.
Napas pendirian koperasi awalnya sebagai wadah yang independen berlandaskan keterbukaan, sukarela, dan tidak diskriminatif. Peran koperasi sebagai penggerak ekonomi kerakyatan adalah untuk membendung kapitalisme sesuai dengan yang dicita-citakan Bung Hatta. Namun kondisi saat ini justru ”Jauh Panggang Dari Api”.
Kehadiran koperasi pada awal kemerdekaan memegang peran penting dalam membangun kebersamaan dan semangat gotong royong. Hal tersebut sesuai dengan napas Pancasila khususnya sila keempat.
Kini koperasi layaknya barang eksklusif yang hanya berfungsi menghimpun kepentingan setiap anggota dengan berlandaskan kepentingan serupa. Ia tidak berdiri secara leluasa, membatasi diri, bahkan terkurung dalam sekat-sekat kepentingan.
Masyarakat pun menganggap koperasi hanya seperti koperasi mahasiswa, koperasi pemuda, koperasi wanita, dan lain sebagainya, jauh dari konsep awal. Kata kunci dari koperasi adalah milik bersama dan dikelola secara demokratis.
Berdasar data per Desember 2016, jumlah koperasi aktif di Indonesia dalam catatan situs Badan Pusat Statistik (BPS) ada sebanyak 148.220 unit. Sementara angka terakhir kali di laman Depkop.go.id tahun 2015 mencatatkan jumlah koperasi sebanyak 212.135 unit. Dari jumlah tersebut koperasi aktif sebanyak 150.223 unit dan tidak aktif 61.912 unit dengan keseluruhan data anggota aktif mencapai 37.783.160 orang.
Angka perkembangan koperasi tahun 2018 tidak dapat diperoleh, baik dari Kementerian Koperasi dan BPS.
Baca juga: Peneliti LIPI: Ketiadaan jaminan LPS, buat koperasi sulit berkembang
Orde Baru penyekat koperasi
Ekonom dari Universitas Gajah Mada (UGM) Revrisond Baswir memandang Orde Baru memiliki peran penting dalam menciptakan jurang besar antara cita-cita awal koperasi dengan eksklusifitas kelas.
Produk hukum yang mengatur perkoperasian yaitu UU nomor 12 tahun 1967, kemudian UU nomor 25 tahun 1992, dan UU nomor 17 tahun 2012, yang akhirnya ditolak Mahkamah Konstitusi, menurutnya rusak dan tidak sesuai dengan hakikat koperasi.
"Koperasi yang kita kenal sekarang adalah koperasi yang sudah dikerdilkan dan dimulai sejak rentetan UU perkoperasian tersebut,” ujarnya dalam diskusi "Usaha Mikro, Kecil dan Menengah: Potensi yang Terabaikan", di Jakarta, Jumat (12/7/2019).
Pemerintahan Soeharto mengubah jati diri koperasi lewat UU tersebut sangat terasa hingga hari ini. Peran koperasi sebagai penggerak ekonomi kerakyatan sengaja dibendung untuk kemudian melanggengkan eksklusifitas.
Pendirian koperasi yang dilatarbelakangi oleh keinginan dari satu kalangan tertentu disebut Revrisond sebagai “Persekutuan Majikan”. Hanya orang-orang dari satu organisasi tertentulah yang bisa masuk ke dalamnya, sementara yang lain tersekat tembok yang tinggi.
“Saya cek ke koperasi yang ada saat ini, apakah mereka membuka anggota enggak? Mereka buka tapi ada dua macam anggota yakni anggota luar biasa dan luar biasa. Bedanya apa? Yang punya hak suara hanya anggota biasa, anggota luar biasa ga punya suara, yah sama saja,”
“Berarti anggota biasa mengekspoitasi anggota luar biasa. Karena kalau mereka tidak punya hak suara mereka ga punya hak untuk SHU (sisa hasil usaha). SHU hanya dibagi untuk anggota biasa, itu namanya persekutuan majikan,” kata Revrisond.
Pembatasan terhadap anggota adalah tidak tepat. Itu merupakan dasar dari koperasi. Selain itu, koperasi juga mesti otonom dan independen. Artinya, semua pihak berhak untuk masuk keanggotaan tanpa tersekat latar belakang.
Draf RUU Perkoperasian
Pasca MA menolak UU Nomor 17 Tahun 2012, masyarakat koperasi dipaksa kembali menggunakan UU Nomor 25 Tahun 1992. Secara substansi, UU tersebut sudah “kolot” dan tidak lagi sesuai dengan tuntutan zaman. Pemerintah awalnya menjanjikan UU Koperasi yang baru segera terbit, namun hingga kini masih belum terealisasi.
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto menjelaskan draf RUU Perkoperasian dinilai belum seluruhnya mampu mengakomodasi substansi upaya reformasi total koperasi sebagai organisasi yang mengatur diri sendiri dan organisasi basis orang sebagai kunci keberhasilan koperasi.
Setelah UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dibatalkan Mahkamah Konstitusi, maka seharusnya pembahasan RUU mengakomodasi substansi mendasar mengenai koperasi sebagai organisasi mengatur diri sendiri (self-regulate organization) dan juga organisasi basis orang ( people-based organization), sebab dua hal ini menjadi kunci keberhasilan koperasi.
“Sebagai organisasi ‘self regulate’ itu fungsi regulasi harusnya fokus untuk memberikan pengakuan terhadap praktik terbaik koperasi di lapangan. Bukan mengintervensi terlalu mendalam dan bahkan sampai dengan mengatur soal periodesasi kepengurusan secara detil dari Dewan Koperasi Indonesia,” katanya.
Koperasi merupakan organisasi bisnis berwatak sosial yang harusnya tumbuh dan dibentuk secara organik atas dasar kebutuhan masyarakat sendiri. Intervensi yang berlebihan yang dilegitimasi dengan UU, selama ini telah membuat perkembangan koperasi di Indonesia jauh tertinggal dengan negara lain.
Sementara itu, Revrisond mendorong agar rancangan undang-undang (RUU) koperasi yang masuk dalam program legislasi nasional (Proglenas) berpegang teguh pada azas keluargaan dan ekonomi Pancasila. Bukan lagi melanggengkan eksklusifitas satu golongan semata dalam praktiknya di lapangan, tapi menjadi ruang terbuka bagi seluruh pihak.
Baca juga: Tarik minat milenial, LIPI sarankan koperasi libatkan komunitas
Baca juga: Koperasi perlu lakukan perubahan hadapi era industri 4.0
"Kita benahi UU-nya dan mentransformasi koperasi secara benar dan kita ajak semua masuk ke industri 4.0," ujarnya
Perlu Juga Transformasi
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mendorong agar Kementerian Koperasi dan UKM menjadi fasilitator pengintegrasian kerja sama antara koperasi dengan ekonomi digital dalam menyongsong era industri 4.0.
Di tengah arus industri digital memaksa koperasi mau tak mau harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar serta anggotanya. Pengintegrasian ekonomi digital dengan koperasi sudah sangat mendesak dan persaingannya tidak bisa ditunda agar keberadaannya tetap terjaga.
Koperasi simpan pinjam memiliki target pasar yang hampir mirip dengan lembaga jasa keuangan dalam hal penyaluran kredit khususnya untuk anggota. Sedangkan Fintech yang menawarkan kemudahan dalam memberikan kredit dapat masuk semakin lebih jauh dalam melakukan penetrasi hingga ke daerah-daerah yang biasanya dikuasai koperasi dan perbankan.
Kemudian kerja sama koperasi produksi/usaha dengan layanan digital (e-commerce). Kerja sama antara koperasi dengan e-commerce memiliki banyak manfaat, salah satunya memutus ketergantungan kepada tengkulak.
"Kalau memang mereka bisa saling berkolaborasi sangat baik, artinya kedua capaian baik dari koperasi maupun Fintech bisa jalan. Fintech bisa masuk ke daerah-daerah untuk menjangkau yang susah dan dari koperasinya bisa mendapatkan modal dari itu," kata dia.
Ia mencontohkan petani kopi bisa memasukkan hasil produksinya ke koperasi yang bekerja sama dengan marketplace. Dengan begitu, kesejahteraan petani akan terangkat dan koperasi dapat terus berkembang.
Hal lainnya, Revrisond juga memiliki konsep pengembangan “Koperasi Platform”. Koperasi platform ini memiliki konsep mengikutsertakan masyarakat dengan pemegang platform sebagai pemilik bersama. Hal ini sejalan dengan konstitusi di mana koperasi adalah milik semua orang.
Melalui sistem koperasi platform, kepemilikan bersifat partisipatif. Artinya, antara pendiri dengan masyarakat sebagai User memiliki status yang sama dalam hal kepemilikan.
Revrisond mencontohkan koperasi platform itu telah diterapkan dalam aplikasi Tapazz di Belgia. Sebuah perusahaan platform yang bergerak dalam bisang transportasi dan dikelola secara partisipatif antara pendiri dan masyarakat.
"Anda hanya bermodal kartu, ada pusat parkir mobil di berbagai tempat, tinggal gesek kartu dan mobil bisa pakai. Bukan mobil anda, kemudian anda berangkat ke suatu tempat ada tempat parkir, tinggalkan. Nanti user lain akan menggunakan," kata dia.
Penerapan koperasi platform itu, para pendiri tidak perlu khawatir akan tersingkir dalam sistem kepemilikan. Menurutnya penguasaan pengetahuan yang dimiliki akan membuat mereka tetap dominan.
"Walaupun partisipan jadi user tapi karena mereka memiliki pengetahuan dan kemampuan ada di tangan mereka, tetap mereka akan dominan. Tidak usah khawatir mereka akan tersingkir. Spirit koperasi mereka adopsi dalam mengembangkan platform," katanya.
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019