Menelisik kearifan lokal Batik Betawi Terogong

16 Juli 2019 12:40 WIB
Menelisik kearifan lokal Batik Betawi Terogong
Seorang pembatik sedang mencanting batik tulis di sentra Batik Betawi Terogong, Terogong, Cilandak Jakarta Selatan (15/7/2019). ANTARA/Sugiharto Purnama/pri
Empat perempuan sedang duduk bersila di gasebo depan sebuah rumah yang menjadi tempat berkumpul para pembatik di Jalan Terogong III, Kelurahan Cilandak Barat, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan.

Mereka menggayung malam, menggores cucuk—bagian ujung canting yang memiliki lubang saluran cairan malam—mengikuti alur sketsa yang melekat di atas kain mori.

Terogong tenar dengan julukan Kampung Batik Betawi berkat motif-motif ikonis yang diciptakan para pembatik, seperti ondel-ondel, abang-none, penari jaipong, bajaj, bemo, patung pancoran, monumen nasional, burung hong, tapak liman, bunga kembang sepatu, kembang kelapa, daun semanggi hingga buah mengkudu dan cermai.

Terhitung ada 40 motif batik yang terbagi dalam tiga jenis, yaitu flora, fauna dan ikon kontemporer yang terinspirasi dari landmark Jakarta. Puluhan motif itu tercipta melalui perenungan para pembatik tentang pelestarian khazanah Jakarta.

Motif buah mengkudu dan cermai menjadi signature batik betawi terogong dengan elemen warna-warna cerah, seperti merah, hijau, ungu maupun oranye, setidaknya ini yang membedakan dengan batik jawa yang cenderung memiliki warna gelap.

Sementara motif ondel-ondel adalah yang paling diminati konsumen baik lokal maupun mancanegara, karena motif ini menampilkan identitas kental Budaya Betawi yang tertuang dalam sehelai kain.

Saat ini, proses pembuatan Batik Betawi Terogong masih dilakukan secara konvensional mulai dari menggambar pola menggunakan pensil, mewarnai hingga mencanting kain dengan cairan malam.


Sejarah

Merujuk tutur lisan dan catatan sejarah, batik betawi telah populer di Batavia sejak abad ke-19, terkhusus produksi rumah mode Met Zellar dan Van Zuylen yang dipakai kalangan masyhur Belanda, China dan pribumi kaya.

Kawasan industri batik saat itu meliputi wilayah Tanah Abang dari Karet Tengsing, Palmerah, Kebayoran hingga Tebet yang didominasi pengusaha batik dari kalangan masyarakat Tionghoa.

"Dulu ibu-ibu di sini (Terogong) bisa membatik. Mereka mengambil kain dari Palmerah yang merupakan salah satu pusat industri batik di Jakarta kala itu," kata Hafizoh, pembatik dari Batik Betawi Terogong saat ditemui di Jakarta, Senin (15/7/2019).

Hafizoh menambahkan bahwa sekitar tahun 1970-an, tradisi membatik mulai hilang seiring munculnya gejolak perekonomian global, sehingga berdampak terhadap tenggelamnya batik betawi di daerahnya.

Perkembangan Batik Betawi Terogong tak lepas dari kisah pelatihan membatik yang dilakukan pada 2012, masyarakat Terogong menemukan jalan untuk dapat berkembang dalam bidang ekonomi kreatif melalui industri rumahan batik.

Ketika itu Lembaga Kebudayaan Betawi bekerja sama dengan Secari Batik, memberikan pelatihan selama tiga bulan kepada masyarakat Terogong. Orang-orang yang mengikuti pelatihan tersebut adalah Siti Nurlaela, Hafizoh beserta keluarga.

Pelatihan yang singkat dan sederhana itu lantas memberikan pengaruh besar terhadap lahirnya batik betawi terogong, sekaligus memberdayakan perempuan di sekitar daerah tersebut.

Saat ini jumlah pembatik betawi terogong hanya berjumlah 11 orang. Mereka tergabung dalam kelompok industri rumahan bernama Batik Betawi Terogong.

Motif batik yang pertama kali dibuat berupa ondel-ondel. Seiring waktu para pembatik itu lantas mengembangkan aneka motif kontemporer untuk membangun citra Betawi sebagai kota metropolitan.

Mereka konsisten memproduksi batik cetak dan tulis dengan aneka kreasi motif yang berhubungan dengan Jakarta, lalu dikelir warna-warna terang yang melambangkan keceriaan dan bahagia.
Motif ondel-ondel kreasi para pembatik di di sentra Batik Betawi Terogong, Cilandak, Jakarta Selatan (15/7/2019). (ANTARA/Sugiharto Purnama)



Diminati Wisatawan

Ragam motif unik yang sarat akan nilai dan filosofi betawi membuat batik terogong diminati wisatawan. Angka pemesanan batik akan melonjak saat memasuki musim liburan dan perayaan ulang tahun Jakarta.

"Kami pernah menerima pesanan batik 1.000 helai kain untuk pengerjaan selama lima bulan," ujar Hafizoh yang juga menjabat sebagai Sekretaris Batik Betawi Terogong.

Untuk memaksimalkan penjualan, pembatik memanfaatkan media sosial sebagai sarana berjualan berupa Instagram dan Official Website. Melalui teknik pemasaran digital tersebut, alhasil batik betawi terogong dapat menjangkau konsumen daerah hingga mancanegara.

"Pembeli terbanyak datang dari Instagram. Meskipun kadang mereka pesan hanya satu helai kain, kami tetap buatkan," ucap pembatik berusia 47 tahun tersebut.

Harga batik cetak berkisar antara Rp150 ribu hingga Rp300 ribu per helai kain ukuran 210 sentimeter x 115 sentimeter, sedangkan batik tulis dibanderol seharga Rp500 ribu hingga Rp2 juta untuk ukuran kain yang sama.

Saat ini, bisnis usaha industri rumahan Batik Betawi Terogong mampu meraup omset berkisar antara Rp15 juta hingga Rp20 juta tiap bulan.


Terkendala SDM

Permasalahan terbesar yang dihadapi industri rumahan Batik Betawi Terogong adalah minimnya pembatik muda, karena perlu kebijakan khusus guna melatih remaja agar dapat memahami teknik membatik.

"Kendala utama terkait minimnya sumber daya manusia, karena orang-orang yang membatu pekerjaan kebanyakan dewasa," kata Rodiana, salah seorang pembatik.

Dia menuturkan bahwa kalangan remaja hampir tidak ada yang tertarik menjadi pembatik. Meskipun banyak sekolah rutin melakukan kunjungan ke Terogong untuk belajar teknik membatik, namun belum ada remaja yang berminat menekuni keahlian membatik.

Padahal, lanjut dia, permintaan membuat kain batik terus meningkat dari berbagai daerah baik dari lokal DKI Jakarta, daerah lain di Indonesia hingga luar negeri.

Adapun jumlah permintaan kain batik yang mencapai ratusan helai dalam sebulan, terkadang memberikan kesulitan dalam menyelesaikan permintaan akibat terkendala minimnya tenaga pembatik.
Seorang pembatik sedang mewarnai kain batik cetak di sentra Batik Betawi Terogong, Cilandak, Jakarta Selatan (15/7/2019). (ANTARA/Sugiharto Purnama)

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019