• Beranda
  • Berita
  • Atasi tambang ilegal Sulut, Bupati usulkan wilayah tambang rakyat

Atasi tambang ilegal Sulut, Bupati usulkan wilayah tambang rakyat

17 Juli 2019 08:43 WIB
Atasi tambang ilegal Sulut, Bupati usulkan wilayah tambang rakyat
Lokasi pertambangan tanpa izin (Peti) di Busa, Desa Bakan, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, Senin (15/7/2019), tampak tidak ada aktivitas setelah Pemkab Bolaang Mongondow mengeluarkan surat penertiban tambang ilegal tersebut pada Juni lalu. (ANTARA/Faisal Yunianto)

Kami tidak mungkin menangkap rakyatnya sendiri

Bupati Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara (Sulut), Yasti Soepredjo Mokoagow mengatakan pihaknya mengusulkan pembentukan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di Bakan, sebagai solusi mengatasi maraknya pertambangan ilegal di wilayah tersebut.

"Kami terus dorong agar para penambang ilegal itu bisa mendapatkan izin WPR dari pemerintah provinsi maupun pusat, sehingga permasalahan peti (pertambangan tanpa izin) ini bisa selesai," kata Yasti di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara (Sulut) Rabu.

Menurut Yasti, sesuai undang-undang kewenangan perizinan pertambangan bukan dari pihaknya karena menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan pusat yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Yasti mengatakan Pemkab Bolaang Mongondow sudah mengajukan solusi untuk mengatasi tambang ilegal ini kepada pemerintah provinsi dan pusat agar membentuk WPR di areal pertambangan Bakan tersebut.

"Usulan izin WPR tersebut sudah diajukan tahun lalu. Namun sampai sekarang WPR ini belum ada," ujar mantan anggota DPR RI ini.

Ia melanjutkan, sebagai solusi sementara yang menjadi kewenangan Pemkab terkait UU Lingkungan Hidup, pihaknya memutuskan untuk berkoordinasi dengan aparat kepolisian dan TNI untuk melakukan penertiban terhadap para penambang ilegal tersebut.

Saat ini lokasi kegiatan tambang ilegal di Bakan sudah dipasangi garis polisi dan tidak ada lagi aktivitas penambangan ilegal di sana. "Tetapi itu kan bukan solusi permanen karena biasanya setelah penertiban memang sempat tidak aktivitas, selang 1-2 minggu kemudian para penambang itu secara diam-diam beraktivitas kembali," ujarnya.

Ia mengatakan pemkab maupun aparat keamanan juga menghadapi dilema karena tidak mungkin bertindak represif kepada warga mengingat kegiatan itu sebagai mata pencaharian mereka.

"Apalagi jumlah penambang ilegal di wilayah Bolaang Mongondow total bisa mencapai belasan ribu orang. Kami tidak mungkin menangkap rakyatnya sendiri," kata Yasti.

Hingga saat ini, pihaknya melihat pemberian izin WPR diharapkan bisa menjadi solusi untuk mengatasi masalah peti tersebut. Dengan adanya WPR, para penambang bisa mengurus Izin Pertambangan Rakyat (IPR), misalnya dengan membentuk koperasi.

Ia juga mengharapkan kalaupun WPR tersebut disetujui agar dipilih lokasi yang ada potensi kandungan mineralnya, sehingga warga tidak lagi mengais emas di wilayah Kontrak Karya.

Sementara itu Kepala Desa Bakan, Kecamatan Lolayan, Bolaang Mongondow, Hasanudin Mokodompit meminta agar langkah penutupan peti bisa diikuti dengan solusi bagi warga yang kehilangan mata pencahariannya.

Sebagai kepala desa, Hasanudin sering mengimbau agar warga kembali bekerja sebagai petani maupun pekebun ketimbang melakukan kegiatan ilegal.

Bahkan, lanjut Hasanudin, pada tahun 2017 pemerintah sempat membuat program cetak sawah baru di wilayah Bakan dan sekitarnya.

"Namun program itu kurang berhasil karena warga beralasan biaya pengolahan sawah dan pupuknya mahal. Saat ini lahan cetak sawah yang sudah disiapkan, kembali menjadi lahan tidur," ujar Hasanudin.

Baca juga: Polres sebut penertiban tambang emas Sulut karena aspek lingkungan

 

Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019