Bagi sebagian warga, buang tinja di sungai adalah perkara biasa. Pengetahuan buang hajat langsung di kali diturunkan lintas generasi, mulai dari ayah, ibu, kakek, nenek, hingga buyut. Alhasil, buat pemerintah dan sebagian pakar, sebab buang air besar sembarangan (BABS) atau Open Defecation Free (ODF) bukan semata-mata karena ketidakmampuan beli jamban dan tangki septik, tetapi soal kebiasaan juga pola pikir.
Pasalnya, Jakarta adalah rumah dari 13 sungai yang mengalir dari dataran tinggi Bogor dan akhirnya bermuara ke utara ibu kota. Belasan sungai itu antara lain Kali Mookevart, Kali Grogol, dan Kali Pesanggrahan yang mengalir di wilayah barat dan selatan. Belum lagi, Kali Krukut di wilayah pusat dan selatan, Kali Baru Barat, Kali Ciliwung, Kali Baru Timur, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, Kali Cakung, dan Kali Cideng. Ketiga belas aliran itu pun masih terhubung dengan empat kanal, yaitu Banjir Kanal Barat, Banjir Kanal Timur, Kanal Cengkareng, dan Kanal Cakung.
Oleh karena itu, tak begitu mengejutkan apabila catatan Kementerian Kesehatan menunjukkan dari 12,28 juta jiwa warga Jakarta, 439,36 ribu di antaranya masih buat hajat sembarangan. Bahkan, di Kabupaten Kepulauan Seribu, belum ada kelurahan yang telah terverifikasi bebas dari limbah tinja.
Data Kementerian Kesehatan lewat laman monev Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) menunjukkan hanya ada 22 dari 267 kelurahan yang bebas BABS. Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Fifi Mulyani, mengonfirmasi keterangan itu saat dihubungi di Jakarta, Kamis (18/7). Ia mengatakan per 30 Juni 2019, baru ada 22 kelurahan di Jakarta yang terverifikasi bebas BABS.
Dari 22 kelurahan itu, Semper Barat di Cilincing, Jakarta Utara, jadi wilayah pertama yang merintis bebas BABS di ibu kota pada 2016. Kunci pencapaian itu terletak pada pembuatan jamban baik secara pribadi maupun berkelompok, diikuti dengan pembangunan tangki septik secara komunal yang dilengkapi dengan biofilter. Saat itu, kerja warga Semper Barat didampingi oleh lembaga kemanusiaan Yayasan Wahana Visi Indonesia.
Berawal dari pencapaian di utara, wilayah lain menyusul. Kelurahan yang telah dinyatakan bebas buang hajat sembarangan, antara lain Duri Utara, Pekojan, Sukabumi Utara, Kalideres, Tanjung Duren Selatan, Meruya Selatan, dan Joglo di Jakarta Barat; Guntur, Setiabudi, Selong, dan Melawai di Jakarta Selatan; Halim Perdanakusumah dan Pondok Ranggon di Jakarta Timur; serta Gondangdia dan Duri Pulo di Jakarta Pusat.
Data Kementerian Kesehatan per 18 Juli 2019 menunjukkan 13 persen kelurahan di Jakarta Barat telah terverifikasi bebas BABS, diikuti oleh Jakarta Selatan 11 persen, Jakarta Pusat tujuh persen, Jakarta Timur enam persen, Jakarta Utara tiga persen, dan Kepulauan Seribu nol persen alias nihil. Data itu turut memperlihatkan Jakarta Utara jadi kota dengan penduduk yang paling banyak buang hajat sembarangan. Jumlahnya mencapai 51.235 KK, diikuti oleh Jakarta Selatan 17.484 KK, Jakarta Pusat 16.215 KK, Jakarta Barat 15.699 KK, dan Kepulauan Seribu 236 KK.
Belajar dari Duri Pulo
Asa datang dari areal pemukiman padat di Kelurahan Duri Pulo, Jakarta Pusat. Warga di sana dapat mengubah kebiasaan BAB sembarangan dengan membangun jamban dan tangki septik komunal, sehingga tinja tak langsung mencemari aliran Kali Cideng. Dari perubahan itu, Kelurahan Duri Pulo pun berhasil terverifikasi sebagai wilayah bebas BAB sembarangan pada 22 Februari 2019.
Tahapan verifikasi bebas BAB sembarangan berlangsung selama tiga tahun sejak 2016. Saat itu petugas kesehatan keliling dari Puskesmas Kecamatan Gambir melakukan pendampingan terhadap warga, khususnya dalam sosialisasi berhenti buang tinja di kantong plastik, memeriksa kelengkapan jamban komunal, dan mendorong pembangunan tangki septik.
Kerja panjang itu pun berujung manis, karena hasil verifikasi Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) memperlihatkan sebanyak 5.352 kepala keluarga (KK) di Kelurahan Duri Pulo telah menggunakan jamban dilengkapi tangki septik untuk membuang hajat. Dari jumlah itu, 4.431 KK menggunakan WC pribadi, dan 920 sisanya memakai jamban komunal.
Bagi Rohayati, warga RT12/RW09, Kelurahan Duri Pulo, mengubah perilaku BAB sembarangan cukup sulit ia lakukan bersama keluarganya. Selain karena faktor kebiasaan karena sedari kecil ia diajarkan buang hajat langsung ke kali, juga faktor biaya.
“Dulu tiap habis subuh, saya sama ibu ke kali, di sana mandi, mencuci, sekalian BAB. Yang lain juga begitu,” kata Rohayati (58), warga, mengenang masa kecilnya beraktivitas di aliran sungai pada periode 1960-1980an.
Namun, kebiasaan itu berhenti pada 1990-an, karena menurut Rohayati, air terlampau hitam dan tercemar sehingga ia membangun kamar mandi dengan jamban dalam rumahnya. Namun, jamban tak dapat berfungsi, karena ia tak punya uang dan lahan untuk membangun tangki septik.
Rohayati tinggal di rumah yang luasnya terbatas, hanya terdiri dari dua kamar berukuran 3x3 meter persegi dan dapur yang jadi satu dengan ruang menonton, ruang tamu, serta ruang makan. Sementara itu, depan rumahnya hanya tersisa gang sempit sebagai akses keluar-masuk ke jalan utama. Walaupun demikian, ia masih memanfaatkan gang sempit itu sebagai tempat cuci baju dan perlengkapan masak.
Akhirnya, Rohayati dan sebagian besar warga di RT012/RW09, Kelurahan Duri Pulo, pun memanfaatkan jamban komunal milik perorangan yang dikelola secara swadaya.
Syaifulloh, salah satu pemilik jamban, mengatakan fasilitas itu dibangun pada akhir 1990-an karena ia ingin membantu tetangganya yang tak punya toilet agar dapat buang hajat di tempatnya.
Syaifulloh, pegawai swasta di bidang ekspedisi, tak asal membuat jamban. Ia memastikan pompa air, dan tangki septik berfungsi baik. Pengetahuan itu, kata Syaifulloh, ia dapat dari ayahnya yang bekerja di Jawatan Pos – perusahaan yang nantinya menjadi PT Pos Indonesia.
Hingga saat ini, jamban komunal milik Syaifulloh masih berfungsi dan dimanfaatkan warga. Ia mengenakan pungutan sebesar Rp1.000-Rp2.000 kepada mereka yang menggunakan fasilitas jamban miliknya. Syaifulloh tak pernah mempersoalkan apabila ada warga tak bayar. Uang itu, kata dia, digunakan untuk membiayai pemeliharaan serta penyedotan tinja yang dilakukan rutin tiap bulan.
Urusan tinja memang tak begitu menyenangkan untuk dibahas karena asosiasinya yang dekat dengan bayangan terbelakang, kotor, dan tertinggal. Namun, persoalan itu penting untuk selalu digaungkan karena slogan “Wajah Baru Jakarta” yang menampilkan gegap gempita pembangunan MRT, LRT, dan JPO instagramable ternyata masih punya mimpi buruk belum terbebas dari limbah tinja.
Pewarta: Genta Mawangi
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019