“Ada dua pihak yang paling dan harus bertanggung jawab terhadap terjadinya bencana banjir bandang di dataran Toili, Banggai,” ucap Eva Bande, di hubungi dari Palu, Sabtu.
Curah hujan yang tinggi sejak Senin (15/7) mengakibatkan banjir di wilayah dataran Toili Kabupaten Banggai pada Kamis (18/7). Banjir setinggi 30 hingga 50 centimeter menggenangi 10 desa di tiga kecamatan antara lain lima desa di Kecamatan Moilong, empat desa di Kecamatan Toili dan satu desa di Kecamatan Toili Barat. Sekitar pukul 11.54 WITA, hujan mulai reda di wilayah itu, namun air luapan sungai masih menggenangi beberapa rumah dan ruas jalan.
Bencana banjir mengakibatkan sebanyak 1.450 Kepala Keluarga (KK) terpaksa mengungsi ke dataran tinggi untuk menyelamatkan diri. Dari 1.450 KK tersebut, 750 KK di antaranya berasal dari Kecamatan Moilong, 450 KK dari Kecamatan Toili dan 250 KK dari Kecamatan Toili Barat.
Selain menggenangi ratusan rumah warga, banjir juga merusak dua jembatan yang terdapat di wilayah Kecamatan Moilong. Tak hanya itu, banjir juga mengakibatkan sekitar 148 hektare lahan sawah warga terendam air dan terancam gagal panen.
“Sejak 18 Juli 2019 hingga saat ini, hujan masih mengguyur Kecamatan Toili Kabupaten Banggai. Banjir bandang telah merusak ratusan hektar sawah, kebun, harta benda bahkan korban jiwa warga masyarakat di sana,” kata Eva.
Eva yang merupakan penerima penghargaan Yap Tian Hien Award Tahun 2019 itu mengemukakan, pihak pertama yang paling dan harus bertanggung jawab atas dampak dari murkanya alam ini di dataran Toili, Banggai yaitu pertama pemerintah yang telah memberi izin perkebunan kelapa sawit kepada korporasi.
Kemudian, kedua, yaitu PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) yang diberi izin kuasa eksploitasi dengan SK HGU Nomor 15/HGU/1991 Badan Pertanahan Nasional pada Oktober 1991.
“Perusahaan brutal. Pohon sawit bahkan di tanam di bantaran sungai, hutan Suaka Marga Satwa Bangkiriang dibantai pula oleh perusahaan ini,” ujar Eva Bande.
Eva mengatakan tak puas dengan "kebrutalan" itu, anak perusahaan PT KLS, PT Berkat Hutan Pusaka (BHP), mengantongi proyek HP HTI Nomor 146/KPTS-II/1996 seluas 13.400 hektare area.
"Sebagian besar areal ini telah di alihfungsi oleh PT BHP menjadi perkebunan kelapa sawit. Atas peristiwa ini, maka wajib bagi pejuang lingkungan dan rakyat menuntut pertanggungjawaban pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten serta perusahaan atas kerusakan alam dan kerugian rakyat,” urai dia.
Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019