Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur menemukan satu virus malaria dari Afrika Selatan yang masuk ke ibu kota provinsi berbasis kepulauan itu.Virus malaria itu diderita oleh Garanta setelah sebelumnya yang bersangkutan sempat bertugas di daerah endemis malaria di Kota Bangui, Afrika Selatan
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Kota Kupang, Sri Wahyuningsih kepada ANTARA di Kupang, Senin mengemukakan bahwa virus malaria impor itu diderita oleh warga Cimahi, Jawa Barat.
"Virus malaria itu dibawa oleh Garanta berusia 54 tahun, warga Cimahi, Jawa Barat yang memang bertugas di Kupang," katanya.
Virus malaria itu, kata dia, diderita oleh Garanta setelah sebelumnya yang bersangkutan sempat bertugas di daerah endemis malaria di Kota Bangui, Afrika Selatan.
Pihaknya menduga Garanta digigit oleh nyamuk saat sedang bertugas di Bangui, dan baru ketahuan saat dirinya tiba di Kupang dan dirawat di RS.
Ia menambahkan bahwa Garanta sempat dirawat di RS WIrasakti Kupang, dan dari hasil pemeriksaan laboratorium, Garanta positif terkana malaria falsifarum plasmodium (plasmodium falciparum/PF).
Plasmodium falciparum adalah protozoa parasit, salah satu spesies Plasmodium yang menyebabkan penyakit malaria pada manusia. Protozoa ini masuk pada tubuh manusia melalui nyamuk Anopheles betina. P. falciparum menyebabkan infeksi paling berbahaya dan memiliki tingkat komplikasi dan mortalitas malaria tertinggi.
"Gejala malaria falciparum timbul antara 9-30 hari setelah terinfeksi yakni demam, menggigil dan sakit kepala," katanya.
Namun, kata dia, Garanta telah diberikan terapi kombinasi berbasis artemisinin (artemisini-based combination therapy (ACT) sebanyak empat tablet dan primaquine sebanyak tiga tablet.
"Syukurnya saat ini dirinya sudah kembali ke daerahya untuk istirahat," demikian Sri Wahyuningsih .
Baca juga: NTT bangun kolaborasi percepat eliminasi malaria di Sumba
Baca juga: 29.000 kasus malaria melanda NTT sejak 2016
Baca juga: 25 juta warga Afrika terancam malaria akibat perubahan iklim
Pewarta: Kornelis Kaha
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2019