"KPI bukan lembaga pengadilan etik dan ideologi namun kontrol terhadap konten penyiaran. Oleh karena itu, konten harus dikontrol ketat agar sejalan dengan dasar negara Pancasila dan UUD 1945," kata Jazuli dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi I DPR dengan KPI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin.
Baca juga: DPR setujui sembilan anggota KPI 2019-2022
Dia menegaskan isi siaran yang menyimpang secara ideologi dan moralitas harus ditindak tegas.
Menurut dia, isi siaran yang menyimpang secara moralitas tidak boleh berlindung di balik budaya bangsa dan kebebasan berekspresi.
"Jangan atas nama budaya bangsa mengeksploitasi aurat perempuan, tidak bisa berlindung di balik budaya bangsa dan kebebasan. Kita punya kearifan lokal, hormati, dan ekspolitasi kehormatan perempuan jangan dibiarkan," ujarnya.
Baca juga: KPI baru harapan selesainya revisi UU agar jangkau medsos
Jazuli juga meminta KPI mengontrol isi siaran politik, karena jangan sampai demokrasi Pancasila berubah menjadi demokrasi kapitalis yaitu siapapun yang memiliki kapital, maka itu yang bisa menjadi "raja".
Dia mencontohkan, ada seorang pemimpin partai politik memiliki lima media televisi, yang setiap saat memutar lagu partainya di medianya tersebut.
"Kita belum ada aturan yang melarang pemilik media membuat partai politik sehingga seorang yang punya partai bisa membuat lima televisi. Kontrol KPI harus ketat karena kalau tidak, Indonesia bisa menjadi demokrasi kapitalis, yang punya kapital bisa menjadi raja di negeri ini," katanya.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Evita Nursanty meminta KPI mengontrol secara ketat konten penyiaran yang berisi radikalisme.
Oleh karena itu, KPI harus memonitor isi penyiaran yang menampilkan penceramah yang terindikasi berpaham radikal sehingga pencegahan radikalisme bisa dilakukan sedini mungkin.
"Memberantas radikalisme tidak bisa satu sektor saja namun menjadi tugas nasional. KPI lebih memonitor penceramah yang isi ceramahnya berisi radikalisme," katanya.
Untuk melakukan itu, Evita menyarankan KPI berkoordinasi dengan Badan Intelijen Negara (BIN) agar mendapatkan data penceramah yang menyebarkan paham radikal.
Dia menilai langkah pencegahan radikalisme merupakan tugas nasional bukan per-sektor, sehingga diharapkan KPI dapat mendukungnya.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2019