Di mana Ondel-ondel tidur? Jawabnya: di atas bajaj atau mikrolet!
Ada sebuah anekdot yang tengah populer di kalangan anak remaja Jakarta saat ini yang berbunyi: Di mana Ondel-ondel tidur? Jawabnya: di atas bajaj atau mikrolet!
Tentu saja kalimat di atas bermakna main-main karena Ondel-ondel sebagai entitas benda mati, tidak akan pernah tidur. Namun, anekdot tersebut bercermin pada realitas kekinian saat Ondel-ondel begitu sering dijumpai tergeletak pasrah di atas sebuah bajaj atau angkutan kota, seolah boneka berukuran raksasa itu memang sedang asyik terlelap.
Ondel-ondel adalah kesenian khas Betawi berupa boneka setinggi dua hingga tiga meter, terbuat dari anyaman bambu, memiliki rambut ijuk, serta topeng berwarna merah untuk sosok laki-laki dan putih untuk penggambaran perempuan.
"Ondel-ondel tidur di atas bajaj" menjadi pemandangan khas ibu kota yang marak dijumpai di seputaran Kramat Pulo, Jakarta Pusat. Di kawasan tersebut banyak terdapat sanggar Ondel-ondel yang memang menyewakan kesenian khas Betawi itu untuk dijadikan objek mencari sekeping uang.
"Kami setiap minggu membuat boneka Ondel-ondel beraneka bentuk dan ukuran. Ada yang dibeli untuk keperluan acara, hiasan hotel, kantor, atau tempat hiburan, namun ada juga yang menyewa untuk dipakai ngamen," ujar salah seorang pemilik sanggar Ondel-ondel bernama Heri.
Menurut Heri, awalnya Ondel-ondel ngamen hanya dilakukan oleh anak-anak putus sekolah yang ditampung di sanggarnya. Biasanya, kata Heri, anak-anak itu bekerja secara serabutan alias tidak selalu ngamen dengan Ondel-ondel.
"Lima sampai enam orang anak di sekitaran sini yang sering kumpul di sanggar, kami ajari bermain musik gambang untuk mengiringi tarian Ondel-ondel. Mereka tidak bersekolah dan terkadang mengemis di pusat keramaian. Tetapi biasanya mereka lebih suka ngamen pakai Ondel-ondel karena lebih mendatangkan uang," jelas Heri.
Baca juga: Budayawan miris ondel-ondel keliling rusak citra Betawi
Namun seiring waktu, kata Heri, siapapun bisa menyewa Ondel-ondel untuk dipakai ngamen karena pakemnya tidak melulu harus menggunakan musik Betawi secara live. Ondel-ondel keliling jadi lebih simpel dengan memanfaatkan pemutar musik yang ditempatkan dalam sebuah gerobak yang didorong.
"Jadi kayak dangdut gerobak dorong, tapi yang ini Ondel-ondel," senyum Heri.
Senada dengan Heri, pemilik sanggar Ondel-ondel lainnya, Purnama, mengaku tidak bisa menutup mata bahwa ikon budaya Betawi itu harus menyusuri jalanan demi seember uang. Kehadiran Ondel-ondel keliling, kata Purnama, memiliki dua sisi sudut pandang.
"Sebagai orang Betawi ya miris juga. Tapi yang selalu jadi pedoman saya adalah apa yang dilakukan anak-anak itu kan halal. Mungkin banyak orang yang cuma melihat sisi negatifnya, kok Ondel-ondel dipakai ngamen kesannya kumuh, miskin, terbelakang. Tetapi mungkin banyak orang tidak tahu kalau Ondel-ondel memberi kesempatan hidup bagi orang lain," beber Purnama.
Purnama menjelaskan maksudnya lebih jauh. Kata dia, orang-orang yang berkumpul di sanggar tidak cuma anak Jakarta, namun juga berasal dari luar pulau Jawa yang berusaha mencari peruntungan di ibu kota. Awalnya anak-anak daerah yang minim kemampuan bekerja itu hanya sekadar nongkrong. Belakangan, mereka mau diajak mencari uang dengan manjak alias memerankan Ondel-ondel keliling.
Baca juga: Melahirkan kembali budaya Betawi
"Daripada luntang-lantung nggak ada kerjaan malah lari ke hal negatif seperti narkoba atau kriminal, lebih baik saya ajak mereka untuk main Ondel-ondel. Seperti simalakama tapi memang seperti itu kenyataannya," jelas Purnama.
Serampangan
Budayawan Betawi, Saiful Amri, menyoroti dilematisnya keberadaan Ondel-ondel keliling di Jakarta. Menurut Amri, banyak pengamen jalanan yang memanfaatkan kesenian Ondel-ondel sebagai sumber pendapatan dengan tidak mengacuhkan pakem-pakem budaya Betawi.
"Kita lihat sendiri sekarang ini, Ondel-ondel keliling kan diiringi musik dari kaset dan pengamennya kadang hanya pakai sandal jepit bahkan terkadang nyeker alias tidak pakai alas kaki. Ini jelas menghancurkan pakem-pakem budaya Betawi," ujar Amri.
Pakem-pakem budaya Betawi dalam kesenian Ondel-ondel, lanjut Amri, seharusnya tetap ditampilkan sesuai aturan.
"Misalnya dengan diiringi musik gambang kromong atau rebana sungguhan. Atau para pemainnya mengenakan pakaian adat yang mencerminkan budaya Betawi. Kalau seperti itu justru bagus karena misi pelestarian dan pengenalan budaya Betawinya juga kena,” katanya lagi.
Baca juga: Becak hingga ondel-ondel hibur keluarga di Karnaval Indonesia Satu
Amri berharap Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) dan Badan Musyawarah Masyarakat (Bamus) memainkan perannya sebagai lembaga yang dapat meluruskan pakem-pakem budaya Betawi.
Ia menilai, keberadaan Ondel-ondel keliling saat ini tidak sekadar berhubungan dengan kesenian namun juga “urusan perut”.
“Teman-teman dari LKB dan Bamus sempat memanggil para pengamen Ondel-ondel itu dan berusaha untuk menertibkannya. Kalau mereka memang mau melestarikan budaya tentu kami dukung asalkan mengikuti aturan. Jangan cuma mencari untung demi perut, tetapi menghancurkan budaya Betawi,” ujar Amri.
Menyikapi soal pakem Betawi, Usman dari sanggar Kramat Pulo menjelaskan banyak Ondel-ondel keliling yang masih berusaha untuk taat aturan main. Misalnya soal penggunaan busana khas Betawi saat mengarak Ondel-ondel keliling jalanan.
Baca juga: Komunitas Ondel-Ondel se-Jabodetabek galang dana bantu korban tsunami
"Ya bisa saja setiap ngamen pakai baju adat Betawi. Dulu beberapa sanggar masih melakukan hal itu. Tetapi lama-kelamaan jadi nggak realistis dari sisi ekonomi karena kalau setiap hari ngamen berarti harus nyiapin paling tidak tujuh set pakaian. Pakaian itu setiap hari harus dicuci dan kalau keseringan dicuci lama-kelamaan jadi rusak. Jadi ya sudah, cari yang paling masuk akal saja," papar Usman.
Ondel-ondel, yang pada awal kemunculannya bernama Barongan dan salah satu fungsinya adalah mengusir roh-roh jahat, sejatinya memang harus dipikul dan diarak keliling masuk-keluar kampung.
Akhirnya kini, tampaknya lika-liku kehadirannya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika ibu kota Jakarta.
Pewarta: Adnan Nanda
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019