Merawat kicau alam di belantara Ibu Kota

24 Juli 2019 09:34 WIB
Merawat kicau alam di belantara Ibu Kota
Ruang terbuka hijau di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta. (Zuhdiar Laeis)
Kicauan merdu burung bersahut-sahutan jelas terdengar di balik rimbunnya pepohonan taman yang asri, disambut semilir angin, kian melengkapi sejuknya udara pagi.

Siapa sangka, keindahan ini bisa dinikmati hampir setiap hari di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, di tengah kota yang dikelilingi gedung-gedung tinggi.

Di antara pepohonan, burung-burung tampak beterbangan, saling berkejaran, mencari makan, dan sesekali beratraksi lincah di sela ranting dan dahan.

Di bawahnya, lalu lalang manusia, namun seperti tak dihiraukannya. Mereka tetap lantang bernyanyi merdu menyumbang lagu, seolah tak terganggu.

Ada burung yang lumayan familiar karena acap bersua, macam derkuku atau tekukur (Streptopelia chinensis), kutilang (Pycnonotus aurigaster), dan burung gereja (Passer montanus).

Itu tak seberapa, masih banyak lagi spesies burung yang ada. Bahkan, koloni burung paruh bengkok, seperti betet biasa (Psittacula alexandri) pun terlihat berkeliaran di sana.

"Tet... tet...," suara khas monoton nan nyaring dari spesies yang terakhir disebut, berwarna dominan hijau daun dengan rona merah muda di dada ini, membuatnya mudah dikenali.

Baca juga: Populasi burung betet biasa terdata di enam RTH Jakarta
Populasi betet biasa (Psittacula alexandri) di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta. (Dokumentasi Jakarta Birdwatcher Society)


Hiburan sederhana, tapi mengasyikkan. Melihat habitat mereka yang bertahan, di sela himpitan beton-beton bertingkat dan kondisi udara Ibu Kota yang kian tak bersahabat.

Di tengah gencarnya pembangunan ala kota metropolitan, Jakarta rupanya masih menyisakan ruang bagi habitat beberapa spesies burung untuk bertahan hidup meski tak seberapa luasnya.

Ady Kristanto dari Jakarta Birdwatcher Society (JBS) mencatat ada 129 spesies burung yang hidup di ruang-ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta. Enam di antaranya berstatus hampir terancam punah.

Enam spesies itu, bubut jawa (Centropus nigrorufus), jalak putih (Sturnus melanopterus), cerek jawa (Charadrius javanicus), cikalang christmas (Fregata andrewsi), bangau bluwok (Mycteria cinerea), pecuk ular asia (Anhinga melanogaster).


Adaptasi ekosistem

Data yang dihimpun JBS bukan berdasarkan pendekatan populasi atau jumlah, melainkan spesies. Data ini diperoleh dari pengamatan langsung spesies di 19 RTH di Jakarta.

Sebut saja, Suaka Margasatwa Muara Angke, Hutan Kota Srengseng, Hutan Lindung Angke Kapuk, Menteng, Kebayoran, Taman Wisata Alam Angke Kapuk, Taman Margasatwa Ragunan.

Lainnya, Buperta Cibubur, Hutan Kota Kemayoran, kawasan Monas, Buperta Ragunan, Tebet, Ancol, Kali Pesanggrahan, Manggala Wanabakti, Senayan, bantaran Ciliwung, Hutan Kota UI, dan Situ Babakan.

"Kami melakukan pengamatan langsung di 19 RTH ini. Meski sama-sama di wilayah Jakarta, karakter spesiesnya belum tentu sama. Misalnya di Monas, Menteng, sama Muara Angke," jelas Ady.

Habitat burung di RTH yang ada di perkotaan boleh jadi sama, tetapi begitu terdapat danau, sungai, apalagi mangrove di dalamnya, akan terlihat jelas beda spesies penghuninya.
Burung takur ungkut-ungkut (Megalaima haemacephala) kawin di habitatnya di Monumen Nasional (Monas), Jakarta. (Dokumentasi Jakarta Birdwatcher Society)


Untuk bertahan hidup, setiap spesies harus mampu beradaptasi, termasuk dari pola makan. Spesies yang hidup di RTH di Jakarta pun sudah menyesuaikan diri mencari makan dari pohon seadanya.

Boleh jadi, burung-burung selama ini tak terlalu menyukai pohon trembesi, tetapi di Monas yang dipenuhi trembesi ceritanya lain lagi. Burung-burung pemakan biji menyantap buah trembesi karena tak punya pilihan lagi.

"Adanya pohon trembesi, mau gimana lagi? Mau enggak mau, mereka beradaptasi. Sesekali, mereka cari beringin yang buahnya lebih manis," kata jebolan Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta itu.


Dampak polusi

Belakangan ini, kondisi udara di Jakarta menjadi isu yang ramai diperbincangkan. Dampak terhadap manusia sudah banyak dibahas dalam pelbagai forum, namun bagaimana dengan nasib burung?

Ady mengamati, habitat burung di Jakarta belum terlalu terdampak polusi karena mereka tinggal di RTH yang lumayan kaya kadar oksigen dari hasil proses fotosintesis pepohonan.

Hanya saja, dia pernah membaca hasil penelitian di Finlandia bahwa paparan polusi udara berpengaruh terhadap semakin tipisnya ketebalan cangkang telur.

Artinya, kemampuan hidup anak burung berkurang drastis jika cangkang telur kian menipis. Regenerasi spesies burung menjadi kian terancam.

Apalagi, keberadaan RTH di Jakarta masih sangat kurang. JBS mencatat cakupan RTH baru 9,8 persen dari luas Jakarta, masih jauh dari idealnya, minimal 30 persen.

Di sisi lain, perburuan liar yang eksploitatif lebih mengkhawatirkan. Ady ingat persis kala burung kacamata atau pleci (Zosterops palpebrosus) ramai ditangkapi kisaran 2013 begitu maraknya kompetisi.

Eksploitasi pleci mampu menyusutkan populasi di alam liar dalam sekejap. Semula, burung penyanyi mungil berwarna hijau zaitun itu mudah sekali dijumpai di 10 RTH, namun kini paling tersisa di tiga RTH.
Komunitas Jakarta Birdwatcher Community (JBS) mengajak anak-anak memantau burung di Pulau Rambut, Kepulauan Seribu, Jakarta. (Dokumentasi Jakarta Birdwatcher Society)


Ternyata, tak semua orang menyangka jika Ibu Kota menyimpan banyak koleksi spesies burung di alam liarnya, seperti Erika (28), warga Rawajati, Jakarta, meski lumayan rajin nongkrong di RTH.

"Paling sering di Menteng yang masih banyak pohonnya. Enggak 'ngeh', ternyata masih banyak spesies burung, ya? Beneran ada betet juga?" katanya gembira, setengah tak percaya.

Dara kelahiran Solo itu berharap pemerintah semakin memperbanyak RTH, bukan malah mempersempit. Di belantara metropolitan, RTH adalah benteng terakhir bagi burung untuk beregenerasi di alam liarnya.

Jalur hijau

Hutan kota, taman kota, atau apalah sebutannya, penting bagi kelestarian ekosistem burung. Sayangnya, pengamat tata kota Nirwono Joga mencatat dari tahun ke tahun jumlah RTH di Jakarta kian merosot.

Pada tahun 1965 luasan RTH di Jakarta mencapai 37,2 persen, lalu menyusut menjadi 25,85 persen pada 1985. Jumlahnya semakin berkurang drastis, tinggal sembilan persen pada tahun 2000.

"Tahun ini, luasan RTH di Jakarta tercatat 9,98 persen. Bayangkan, selama hampir 20 tahun nambahnya enggak sampai satu persen," kata pengajar Universitas Trisakti Jakarta itu.

Baca juga: Ruang Terbuka Hijau Jakarta makin diperluas

Bagi perkembangan habitat liar di alam perkotaan, khususnya burung, RTH menjadi kunci. Tak cuma tempat beranak pinak, RTH juga berperan sebagai jalur hijau untuk persebaran spesies mereka.

Selain minim, jalur hijau di Jakarta banyak yang terputus. Biasanya, karena tak dikonsep matang, atau karena pembangunan RTH yang melihat manfaatnya melulu bagi manusia, bukan bagi satwa liar di sana.

Semestinya, jalur hijau terhubung dari kawasan pesisir hingga pegunungan, dari utara ke selatan, barat ke timur. Keterputusan jalur antar-RTH, membuat burung tak leluasa bergerak ke mana-mana.

"Selama ini, dinas, Bappeda, membangun RTH kan konteksnya lebih fokus ke hubungan manusia, buat olahraga, buat rekreasi. Tak pernah berpikir RTH untuk perlindungan satwa liar," ujar Nirwono.

Pohon-pohon yang akan ditanam di RTH pun semestinya diseleksi. Disesuaikan dengan kebutuhan satwa liar dan burung-burung penghuni. Jangan cuma asal jadi, tanpa strategi.

Ibarat menanam pohon jati, si empunya pasti tak berharap memanen segera manfaatnya untuk keuntungan sendiri. Akan tetapi, kesadaran diri, merawat kicau alam untuk diwariskan lintas generasi.

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2019