Dalam pertemuan di rumah Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat itu, Prabowo disambut oleh anak Mega, Puan Maharani. Kemudian Prabowo bersalaman dengan Megawati dan juga Pramono Anung yang merupakan tokoh senior PDIP dan kini menjadi Sekretaris Kabinet yang sehari-hari mendampingi Presiden Joko Widodo.
Pertemuan kedua tokoh ini patut disorot atau diperbincangkan rakyat di Tanah Air karena sekarang sedang amat dibahas pembentukan kabinet karena Jokowi bakal dilantik lagi pada 20 Oktober mendatang. Sementara itu, para anggota DPD, DPR.RI serta DPRD provinsi, kota dan kabupaten dilantik sekitar 1 Oktober.
Sementara itu, di hari yang sama (24/7) Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bertemu dengan Ketua Umum DPP Partai Nasdem Surya Paloh, namun entah apa yang dibicarakan kedua pemimpin itu. Anies disebut-sebut sebagai salah satu pemrakarsa atau deklarator organisasi kemasyarakatan Nasional Demokrat bersama Surya Paloh, yang kini menjadi sebuah partai politik.
Pertemuan Anies dengan Bang Surya ini entah untuk membicarakan calon wakil gubernur Jakarta yang masih terus kosong setelah ditinggal Sandiaga Salahudin Uno yang masih "mandeg" di kalangan anggota DPRD Jakarta ataukah membahas pula "politik tingkat tinggi" di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Akan tetapi yang juga menarik untuk direnungkan adalah pada hari Senin (22/7), Surya Paloh menerima tiga ketua umum partai politik yakni Pelaksana Tugas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharso Monoarfa, Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar serta Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.
Rakyat Indonesia memang perlu menyimak berbagai pertemuan-pertemuan "tingkat tinggi" ini, terutama antara Prabowo-Jokowi serta Megawati dengan Prabowo.
Berbagai pertemuan ini memang patut disorot karena sekarang Joko Widodo sedang sibuk-sibuknya membicarakan pembentukan kabinet periode 2019-2024 yang mencakup puluhan menteri serta ketua lembaga pemerintah nonkementerian seperti LIPI, BPPT, Bakosurtanal serta Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT).
Selain itu, karena Jokowi juga menjadi kepala negara, maka dia juga mempunyai kewajiban untuk menangani pemilihan ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) serta ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Beberapa nama mulai disebut-sebut diunggulkan menjadi ketua MPR dan juga DPR. Muhaimin Iskandar yang merupakan Ketua Umum DPP PKB disebut-sebut "sangat berambisi" atau berminat menjadi ketua MPR. Bahkan kini nama Puan Maharani yang jabatannya dalam pemerintahan adalah Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) disebut- sebut diunggulkan menjadi ketua DPR.
Sementara itu, jika kembali ke pertemuan Prabowo dengan Megawati, pasti itu bukan silaturahim biasa alias kangen - kangenan karena kedua orang ini didampingi oleh para orang kepercayaannya. Sekalipun Prabowo kalah dalam Pemilihan Presiden pada 17 April, peranannya tetap amat diperhitungkan.
Alasannya terutama adalah karena sekalipun letnan jenderal purnawirawan TNI Angkatan Darat ini sudah kalah dalam pilpres, maka pertanyaannya adalah apakah dia akan tetap berada di luar pemerintahan alias oposisi ataukah bakal "dirangkul" dalam koalisinya Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Hampir bisa dipastikan bahwa baik Megawati maupun Prabowo tidak akan 100 persen mengungkapkan atau menceritakan bahan diskusinya ataupun kesepakatan- kesepakatan yang telah mereka capai. Masyarakat tentu baru bisa berharap cepat atau lambat, hasil konkret pertemuan Megawat-Prabowo Subianto dalam waktu yang dekat sudah bisa diketahui.
Mungkinkah bergabung?
Pertemuan Presiden Terpilih dengan Prabowo Subianto di Stasiun MRT Lebak Bulus hingga Senayan tentu tidak akan berakhir tanpa kelanjutan apa pun juga, karena pasti akan ditindaklanjuti.
Jokowi adalah salah seorang kader PDIP sedangkan Megawati adalah "bos" tertinggi partai ini. Jadi hampir bisa dipastikan Jokowi bakal menceritakan secara rinci pertemuannya dengan Prabowo itu kepada Megawati yang merupakan putri tertua Proklamator Bung Karno.
Kini pertanyaannya adalah apakah Prabowo akan ditarik ke dalam koalisinya Joko Widodo atau tidak? Ditarik atau dibiarkannya Prabowo di dalam kelompok oposisi tentu ada berbagai konsekuensinya..
Apabila Prabowo menjadi anggota koalisi, maka suara dukungan bagi Jokowi karena sekarang saja sudah sekitar 60 persen kursi di Senayan sudah dikuasai oleh kelompok Jokowi. Berarti jika Prabowo masuk koalisi maka posisi Joko Widodo baik di pemerintahan maupun di DPR bakal semakin kuat.
Akan tetapi sebaliknya, apabila Prabowo tetap bertahan sebagai kelompok oposisi maka suara dia sebesar 45 persen sebagai hasil Pilpres 17 April akan bisa dipertahankan. Jadi Prabowo tentu harus bersikap tegas terutama karena Pemilihan Umum 2024 tidak akan terasa terlalu lama lagi.
Prabowo sudah harus menghitung-hitung kekuatan suaranya itu terutama karena semakin banyak kelompok muda alias milenial yang bakal menjadi calon pemilih pada Pemilu 2024.
Sebaliknya Megawati bersama Jokowi juga harus menghitung-hitung untung ruginya mengajak Prabowo bergabung karena belum tentu partai- partai politik pendukungnya pasti 100 persen mendukung masuknya mantan komandan jenderal Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat itu alias Kopassus ke dalam pemerintahan lima tahun mendatang.
Yang harus disadari oleh Presiden Terpilih, Megawati dan juga Prabowo adalah apa pun pertimbangan mereka maka kepentingan rakyat yang kini berjumlah sedikitnya 265 juta orang itu harus benar-benar dijunjung tinggi, dihormati karena ratusan juta orang telah menaruh kepercayaan kepada mereka.
Rakyat tentu tidak sembarangan memilih mereka sebagai pemimpin - pemimpin. Jadi jangan salah gunakan kepercayaan rakyat itu.
*) Arnaz Ferial Firman adalah wartawan LKBN Antara periode tahun 1982-2018, pernah meliput acara-acara kepresidenan tahun 1982-2009.
Pewarta: Arnaz Ferial Firman *)
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019