Kisah penghuni gubuk liar yang tak jera digusur

26 Juli 2019 16:52 WIB
Kisah penghuni gubuk liar yang tak jera digusur
Suasana gubuk liar di bantaran Sungai Ciliwung, Kanal Banjir Barat, Jakarta, Jumat (26/7/2019) (ANTARA/Sugiharto Purnama)

Sudah biasa (digusur). Kalau enggak dibolehin, pindah, terus bangun (gubuk) lagi

Sejumlah gubuk liar yang terbuat dari kayu, dinding triplek dan terpal berdiri di sepanjang bantaran Kanal Banjir Barat, Jakarta. Tekanan hidup hingga himpitan ekonomi membuat mereka bertahan di kawasan kumuh tersebut.

"Sudah biasa (digusur). Kalau enggak dibolehin, pindah, terus bangun (gubuk) lagi. Harga kontrakan mahal Rp500 ribu sebulan, saya enggak punya duit," kata Tukiyem, salah seorang penghuni gubuk liar di Kebun Melati, Jakarta, Jumat.

Gubuk yang dihuni perempuan berusia 54 tahun itu hanya terbuat dari terpal dan tiang-tiang kayu sebagai pancang, sementara alas lantai dilapisi triplek dan terpal. Gubuk Tukiyem mirip seperti tenda darurat di lokasi bencana.

Di gubuk itu, dia bersama suaminya istirahat melepas lelah setelah memungut sampah botol plastik. Sekitar 10 meter dari gubuk tersebut berdiri gubuk yang dihuni anak, menantu dan dua cucunya.

"Saya dulu tinggal di rumah permanen, tapi dibongkar, lalu pindah ke tanggul sungai kemudian digusur karena tanggulnya mau dibeton. Saya sempat dua kali pindah di dekat rel kereta, tapi juga digusur, hingga akhirnya menetap di sini," ujarnya.

Di dalam gubuk itu terdapat kompor, piring hingga kabel listrik ilegal yang dipergunakan untuk lampu penerangan dan barang-barang elektronik lainnya. Tarif listrik itu dipatok Rp35.000 per bulan.

Adapun di luar gubuk yang lokasinya dekat dengan Sungai Ciliwung terdapat beberapa jeriken air bersih dan ember. Air bersih itu diperoleh dengan cara membeli seharga Rp5.000 per jeriken.

"Sehari habis Rp30.000 beli air bersih untuk keperluan masak dan cuci. Kami enggak bisa pakai air sungai, karena gatal dan kotor," jelasnya.
Suasana gubuk liar di bantaran Sungai Ciliwung, Kanal Banjir Barat, Jakarta, Jumat (26/7/2019) (ANTARA/Sugiharto Purnama)

Warga lain, Tugianto, bertahan hidup seorang diri. Dengan tenda terpal dan alas triplek, dia tidur seadanya untuk melepas lelah.

Keseharian Tugianto bekerja sebagai pemulung dengan penghasilan Rp1 juta per bulan. Untuk mendapat uang tambahan, dia mengolah lahan di bantaran sungai menjadi kawasan pertanian.

"Saya baru setahun menanam, ini karena hobi. Daripada jenuh pulang mulung enggak ada yang bisa dilihat, lebih baik saya ngurusin tanaman," ungkapnya.

Lahan bantaran sungai yang dia garap cukup luas sekitar satu kaveling. Di lahan itu tumbuh aneka jenis sayuran, seperti sosin, bayam, kacang, kangkung hingga ketela.

Himpitan ekonomi dan tekanan hidup membuat Tugianto terpaksa menghuni gubuk di bantaran sungai yang airnya berwarna hitam pekat serta mengeluarkan bau busuk.

"Pemilik kontrakan enggak ada yang mau disewa pemulung, kotor kata mereka, barang-barang (hasil memulung) numpuk di depan kontrakan. Itu kenapa saya pindah ke sini," tutur pria berusia 60 tahun tersebut.

Alasan itu membuat Tugianto terpaksa mendirikan gubuk liar sejak tahun 2000 di bantaran Sungai Ciliwung, Kanal Banjir Barat, Jakarta. Meskipun Satpol PP beberapa kali memperingatkan dan menggusur, namun dia tetap bertahan.

Untuk mandi, toilet umum menjadi pilihan para penghuni gubuk liar. Adapun buang air kecil maupun besar, mereka biasa melakukannya di bantaran sungai.
Tugiono beristirahat sambil melihat tanaman sayuran yang dia kelola di bantaran Sungai Ciliwung, Kanal Banjir Barat, Jakarta, Jumat (26/7/2019) (ANTARA/Sugiharto Purnama)

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019