Untuk pemantauan ilegal fishing sebenarnya memungkinkan. Kita mengawasi," ujar Thomas di Jakarta, Senin.
Thomas mengatakan saat ini sedang dikembangkan juga sistem identifikasi otomatis (AIS) yang mampu memantau pergerakan kapal, namun diupayakan juga menggunakan kamera radar dengan Syntethic Aperture Radar (SAR) yang bisa menembus awan.
"Masalah di Indonesia ini kan awan, jadi kalau memiliki satelit dengan detektor radar maka gerak kapal itu bisa dilihat secara fisik," ujar Thomas.
Menurut Thomas, teknologi itu bisa memantau sekitar dua juta lebih kapal dari seluruh dunia. Itu juga akan dimasukkan dengan permintaan lain.
Sehingga nanti diharapkan dari penginderaan jauh saja, sudah bisa diketahui suhu permukaan laut dan klorofilnya. Suhu permukaan laut dan klorofil itu menurut Thomas berguna untuk melihat wilayah yang banyak potensi ikannya.
LAPAN ingin memberi potensi tersebut pada satelit A5, agar selain dapat memberikan informasi pada nelayan, juga memberi informasi kepada Badan Keamanan Laut (Bakamla) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Sekarang Indonesia sudah memiliki kemampuan membuat satelit sendiri. Walaupun itu baru dimulai dari kelas kecil dengan segala keterbatasan anggaran dan Sumber Daya Manusianya.
Sebelumnya sudah ada tiga satelit yang diluncurkan, Satelit LAPAN A1, LAPAN A2, dan LAPAN A3. Menurut Thomas, A itu adalah kode eksperimennya. Namun satelit A2 dan A3 itu pemantauannya sehari sekali. Sangat kurang untuk wilayah perairan Indonesia yang luas.
"Kami sekarang sedang menyiapkan Satelit LAPAN A4 ditargetkan tahun depan bisa diluncurkan. Kemudian Satelit LAPAN A5, ditargetkan tahun 2022. Dan A5 ini akan menjadi satelit konstelasi sekitar delapan atau sembilan satelit," ujar Thomas.
Ia menambahkan kalau LAPAN hanya membuat satu satelit A5, sedangkan delapan lagi akan dibuat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau swasta.
Thomas mengatakan sekarang pun sudah ada badan usaha yang berminat untuk memanfaatkan, salah satunya Telkom. "Yang diharapkan nanti setelah Badan Usaha Milik Negara itu, yang swasta-swasta yang lain juga berminat," ujar Thomas.
Ia optimistis industri satelit di Indonesia akan tumbuh mengingat kebutuhan komunikasi yang terus-menerus sedangkan umur satelit terbatas. Untuk satelit komunikasi seperti Telkom 3, Telkom 4 umurnya hanya berkisar 15 sampai 20 tahun.
"Jadi Indonesia itu luasnya memerlukan banyak satelit dan itu harus terus-menerus harus membuat satelit secara berkelanjutan," ujar Thomas.
Namun, masalah anggaran dan dari segi Sumber Daya Manusia masih menjadi momok bagi perindustrian antariksa kita.
"Selama ini peluncurannya masih menumpang dengan peluncur internasional. Mengikuti jadwal mereka itu yang jadi kendala," ujar Thomas.
Padahal Indonesia memiliki keinginan mengorbitkan satelit dari wilayah sendiri agar lebih dekat dengan ekuator dan lebih efektif memantau perairan Indonesia
"Supaya satelitnya lebih sering lewat jika mengorbitnya dekat ekuator. Kalau satelitnya sering lewat, tentu kami bisa memberikan informasinya real time. Kalau nanti kami dapat yang orbitnya nanti dekat ekuator, kita juga tidak perlu enam satelit," tandas Thomas.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Eliswan Azly
Copyright © ANTARA 2019