"UU KUHP adalah induk dari semua undang-undang di bidang hukum, sehingga Revisi UU KUHP harus diselesaikan lebih dulu, agar tidak terjadi tumpang tindih dan saling bertabrakan pengaturan dalam undang-undag teknis lainnya di bidang hukum," kata Taufiqulhadi pada diskusi "Forum Legislasi: RUU PKS terganjal Revisi UU KUHP" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Selasa.
Menurut Taufiqulhadi, RUU PKS secara umum mengatur perlindungan terhadap kaum perempuan dari kekerasan fisik maupun kekerasan verbal.
Secara umum, kata dia, pengaturan dalam RUU PKS tidak bertabrakan dengan pengaturan dalam Revisi UU KUHP, meskipun dalam kedua RUU tersebut ada pasal-pasal yang mengatur soal ancaman pidana. "Namun pembahasannya, agar mendahulukan pembahasan RUU KHUP, baru kemudian pembahasan RUU PKS," katanya.
Politisi Partai Nasdem ini berharap, Revisi UU PKS dapat selesai pembahasannya oleh DPR RI periode 2014-2019 yang masa tugasnya akan berakhir, pada 30 September mendatang. "Kalau RUU KUHP sudah selesai, maka dilanjutkan dengan pembahasan RUU PKS pada periode berikutnya," katanya.
Sementara itu, anggota Komisi VIII DPR RI, Diah Pitaloka mempertanyakan mengapa pembahasan RUU PKS harus menunggu penyelesaian RUU KUHP. Menurut Diah Pitaloka, pada DPR RI mengusulkan RUU PKS, belum usulan Revisi UU KUHP. "Kalau saat ini, Revisi UU KUHP sedang dalam proses pembahasan, RUU PKS sesungguhnya bisa juga dibahas, karena antara kedua RUU tersebut dapat saling sejalan," katanya.
Komisioner Komnas Perempuan, Masruchah, menambahkan, pengaturan dalam RUU PKS bukan hanya soal perlindungan perempuan, tapi juga soal penegakan hak azasi manusia (HAM).
Pada kesempatan tersebut, Masruchah mengkritik, bahwa ada fraksi di DPR RI yang dinilai tidak konsisten dengan sikapnya. "Pada saat Komnas Perempuan mengusulkan kepada DPR RI untuk membuat aturan perlindungan kekerasan terhadap perempuan, semua fraksi di DPR setuju. Saat ini, setelah memasuki pembahasan, ada fraksi di DPR yang menyatakan tidak setuju," katanya.
Masruchah menambahkan, setiap warga negara Indonesia (WNI) memiliki hak untuk keamanan, kenyamanan, dan dilindungi. "Kaum perempuan yang secara fisik tidak sekuat laki-laki, memerlukan aturan aturan perundangan untuk perlindungan dan keamanan," katanya.
Pewarta: Riza Harahap
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019