Karena itu, munculnya putusan kasasi Mahkamah Agung menguatkan putusan banding sebelumnya yang ditetapkan Pengadilan Tinggi NTB. Namun, terkait dengan putusan Mahkamah Agung ini, Kasi Penkum dan Humas Kejati NTB, Dedi Irawan, di Lombok, Selasa, mengaku belum menerima salinan putusannya.
Dalam putusannya, Majelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi NTB menghukum terdakwa Mutawali, mantan Wakil Ketua Tim Konsolidasi PD BPR NTB dengan pidana penjara selama tiga tahun enam bulan dan denda Rp100 juta subsider tiga bulan.
Kepadanya turut dibebankan untuk membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp382,04 juta subsider satu tahun.
Hal itu tertuang dalam putusan banding Nomor: 23/PD.TPK/2018/PT MTR tertanggal 30 Januari 2019. Majelis hakim banding yang dipimpin Zainudin itu juga menyatakan 146 barang bukti tetap di dalam berkas perkara.
Baca juga: Penetapan tersangka kasus korupsi aset LCC tunggu audit BPKP
Menurut Dedi Irawan, tetap dalam berkas perkara bukan selalu berarti pengembangan tersangka lain, jaksa juga bisa menjadikannya hanya sebagai arsip.
Lebih lanjut dia menerangkan bahwa jaksa tidak memiliki kewajiban untuk mengusut peran tersangka lain, meskipun ada petunjuk dari fakta-fakta persidangan atau pun berkas putusan hakim.
"Jadi hakim tidak memerintahkan demikian, itu hanya bagian dari pertimbangan. Sah-sah saja dan kita menghormati putusan hakim tersebut," ujarnya lagi.
Juru Bicara Pengadilan Tipikor Mataram Fathurrauzi menjelaskan bahwa putusan kasasi Mahkamah Agung tersebut sekaligus menegaskan putusan banding Pengadilan Tinggi NTB.
"Bahwa peran-peran yang terbukti dalam unsur pasal 55 KUHP itu tidak hilang. Sebagaimana dengan apa yang menjadi putusan hakim banding pengadilan tinggi," kata Fathurrauzi.
Dalam pertimbangan putusannya, majelis hakim banding menimbang bahwa terdakwa Mutawali dan Ikhwan serta saksi Manggaukang Raba, mantan Karo Ekonomi Setda Provinsi NTB, yang berperan sebagai Pengarah Tim Konsolidasi PD BPR NTB memiliki peran yang sangat dominan dalam penggunaan dana konsolidasi di luar ketentuan term of references (ToR).
Ketua Tim Konsolidasi Ikhwan bersama Wakilnya, Mutawali membuat rekayasa bukti-bukti pertanggungjawaban atas arahan atau petunjuk dari saksi Manggaukang Raba. Saksi Manggaukang pun mengetahui dan hadir di rumah Ikhwan saat pembuatan pertanggungjawaban fiktif tersebut.
Pertanggungjawaban fiktif itu di antaranya berupa pembayaran kegiatan rapat di Hotel Aston Inn Mataram sebesar Rp322,7 juta, daftar terima honor rapat Rp229 juta, daftar terima honor tim pengkajian akademisi konsolidasi Rp134,4 juta, serta daftar terima biaya BBM dan sewa mobil Rp198 juta.
Jumlah keseluruhannya yang kemudian masuk dalam temuan BPKP NTB sebagai kerugian negara itu mencapai Rp1,08 miliar.
Dana dipakai untuk kebutuhan yang tidak tercantum di dalam ToR konsolidasi. Melainkan sebagiannya digunakan untuk ongkos percepatan perda di Pansus DPRD Provinsi NTB.
Sejumlah dana untuk percepatan perdana senilai Rp200 juta dikeluarkan atas perintah mantan Kepala Biro Ekonomi Setda NTB Manggaukang Raba. Kemudian pengadaan server dan sistem IT sebesar hampir Rp400 juta tanpa mekanisme pengadaan barang dan jasa.
Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019