"Kami telah mencanangkan program transormasi bisnis guna mencapai asa perusahaan menjadi solusi agroindustri. Dengan sejumlah strategi yang telah disiapkan, Petrokimia Gresik memiliki infinity power untuk menguasai pasar komersial sektor agroindustri," kata Direktur Utama Petrokimia Gresik, Rahmad Pribadi
Rahmad mengatakan, sebelumnya Petrokimia Gresik juga telah memperkuat struktur bisnisnya melalui pendirian pabrik baru seperti joint-venture dengan Jordan Phosphate Mine Company (JPMC) pada tahun 2014.
Selain itu, juga revamping pabrik asam fosfat (2015) untuk mengurangi ketergantungan impor asam fosfat yang merupakan bahan baku pupuk NPK, ditambah pendirian pabrik Amoniak-Urea II untuk meningkatkan kapasitas Urea dan mengurangi impor Amoniak (2018)
"Struktur bisnis yang telah diperkuat tersebut terus kami optimalkan, tujuannya untuk menggarap pasar komersial serta menjajaki beberapa potensi pasar di sektor agroindustri yang belum tersentuh," katanya.
Ia mengatakan, keseriusan Petrokimia dalam membidik pasar komersial diwujudkan dengan meluncurkan sederet produk unggulan non-subsidi, terbaru adalah pupuk NPK Petro Ningrat untuk perkebunan, hortikultura buah dan umbi yang diluncurkan Juli 2019.
"Kebutuhan pupuk ke depan akan terus meningkat, sementara alokasi pupuk bersubsidi perlahan berkurang. Untuk itu Petrokimia Gresik telah menyiapkan tiga produk unggulan non-subsidi yang akan menjadi andalan di tahun 2020, yakni NPK Phonska Plus, NPK Petro Nitrat dan NPK Petro Ningrat," katanya.
Sebelumnya, Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro memaparkan tentang Visi Indonesia Tahun 2045 di Gresik beberapa waktu lalu.
Bambang menjelaskan pemerintah memproyeksikan ekonomi Indonesia akan menjadi yang terbesar kelima di dunia pada tahun 2045 mendatang, dengan salah satu syarat pertumbuhan industri manufaktur mencapai 6,3 persen, dan kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 26 persen.
Target tersebut bisa dicapai dengan modernisasi industri yang fokus pada industri pengolahan sumber daya alam berbasis kawasan, penerapan smart and sustainable manufacturing untuk meningkatkan efisiensi industri nasional, pemanfaatan Revolusi Industri 4.0 yang disesuaikan dengan karakteristik masing-masing industri, serta mendorong industri menjadi bagian dari Global Value Chain (GVC).
"Tantangannya ke depan adalah kapasitas produksi terbatas termasuk bahan kimia dasar. Kita juga masih sangat tergantung dengan impor bahan baku, misalnya lebih dari 90 persen Naftha kita impor. Selain itu, zona industri pabrik kimia masih belum optimal. Terakhir, terbatasnya insinyur dan kemampuan penelitian dan pengembangan sehingga industri masih di tahap industri kimia dasar," jelas Bambang.
Pewarta: A Malik Ibrahim
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2019