Buku dengan sampul depan berlatar belakang hitam dan putih dengan tebal 142 halaman itu diterbitkan oleh Pustaka Larasan, Denpasar, Bali.
Buku cetakan pertama, Mei 2019 itu ditulis oleh Markus Haluk berdasarkan wawancara, rilis dan sejumlah kutipan berita dari berbagai media serta rangkuman dari sejumlah diskusi dengan editor dari Tim Honai.
Baca juga: Kemensos minta pengungsi Nduga didata permudah penyaluran bantuan
"Buku ini berdasarkan data dan fakta yang saya terima dan yang terutama ini bisa dijadikan jendela atau referensi apakah ini benar atau tidak," kata Markus usai kegiatan tersebut.
Menurut alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur di Kota Jayapura itu, dengan cara meluncurkan dan beda buku yang dipadukan dengan sedikit diskusi, diharapkan semua pihak bisa memahami persoalan yang terjadi di Nduga dan sekitarnya.
"Apakah peristiwa di Nduga benar atau tidak, itu tergantung kaca mata kita. Dan dengan cara diskusi seperti ini bisa memberikan pembelajaran atau kajian kepada mahasiswa dan semua pihak," kata Markus.
Baca juga: Korban konflik Nduga akan dapat PKH
Peluncuran dan bedah buku itu menghadirkan sejumlah pemateri, diantaranya Edison Waromi salah satu tokoh Papua, Ketua Sinode KINGMI Papua Dr Benny Giay, dan Presiden Sinode GIDI Papua Pdt Doorman Wandikbo.
Lalu, Raga Kogeya aktivis HAM Papua yang juga salah satu koordinator pengungsi Nduga, anggota MRP John Wob, anggota DPRP Emus Gwijangge dan pemilik tabloidjubi.com Victor Mambor dan Kadis Kuminfo Kabupaten Nduga Otomi Gwijangge
Edison Waromi berpendapat bahwa buku Markus Haluk tersebut telah memberikan gambaran dasar terkait masalah di Nduga, yang sebenarnya ada masa kelam yang belum selesai.
Baca juga: Terdata 53 orang pengungsi Nduga meninggal
"Di Nduga itu saya lihat ada tiga persoalan, pertama masalah ideologi Papua merdeka dan ideologi Pancasila. Kedua, akar persoalan pembangunan infrastruktur yang dibuat untuk siapa dan ketiga, Nduga terletak di pusat kekayaan SDA Papua sehingga terjadi banyak pelanggaran kemanusiaan," kata Edison.
Sementara Doorman Wandikbo mengaku tidak terlalu percaya dengan sejumlah pemberitaan yang ada di Jakarta, karena jauh dari akar persoalan yang sebenarnya.
"Kami tidak percaya dengan penyampaian media di Jakarta, sebagai tokoh gereja maka harus bicara benar. Kami akan cek dan data sebenarnya korban di Nduga. Kami juga sudah menyurat ke Presiden Jokowi soal penarikan pasukan," kata Doorman.
Baca juga: Kemensos salurkan Rp3,7 miliar untuk korban konflik Nduga
Sedangkan, Pembantu Rektor (Purek) III USTJ Isak Rumbarar mengapresiasi kepada Markus Haluk yang begitu peduli dengan masalah kemanusiaan hingga dibuat dalam bentuk buku.
"Saya dulu semasa kuliah, sebagai Ketua BEM USTJ, Pak Markus juga demikain di STFT. Kami sering buat diskusi tentang masalah kekinian pada masa itu, tapi kini Pak Markus sudah membuat buku yang lebih baik dari masa kuliah yang hanya covernya kertas manila," katanya.
Isak berharap dari hasil peluncuran dan bedah buku tersebut bisa memberikan gambaran dan pengetahuan baru bagi mahasiwa dan publik terkait masalah di Nduga.
"Saya juga baru kembali dari pegunungan, satu minggu di Nduga dan melihat berbagai persolaan. Saya menilai ini ada yang kurang tepat, butuh perhatian semua pihak, harapannya buku tentang Nduga bisa merepresentasikan situasi disana," kata Isak.
Peluncuran buku tersebut dihadiri kurang lebih 200-an warga dan mahasiswa yang datang dari berbagai kampus yang ada di Kota Jayapura dan sekitarnya.
Pewarta: Alfian Rumagit
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2019