Jaringan Kerja Penyelamatan Hutan Riau (Jikalahari) meminta pemerintah daerah itu agar segera mengembalikan ruang hidup habitat Harimau Sumatera dengan cara mencabut izin korporasi sawit, tambang dan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang selama ini penyebab punahnya satwa langka itu.Harimau Sumatera makin terancam punah dan kondisi itu makin diperparah akibat kawasan konservasi yang selama ini menjadi akses pemburu harimau tidak dijaga dengan serius oleh pemerintah
"Harimau Sumatera makin terancam punah dan kondisi itu makin diperparah akibat kawasan konservasi yang selama ini menjadi akses pemburu harimau tidak dijaga dengan serius oleh pemerintah," kata Okto Yugo Setiyo, Wakil Koordinator Jikalahari di Pekanbaru, Rabu (31/7).
Menurut Okto Yugo, kondisi habitat harimau Sumatera kini menyedihkan apalagi di tengah perayaan hari harimau sedunia pada 29 Juli 2019.
Berdasarkan temuan Jikalahari, katanya lagi, konflik harimau dan manusia justru terjadi di tengah areal korporasi di landscape Kerumutan. Tercatat pada 2018-2019 tiga orang meninggal dunia diterkam harimau. Pertama, Jumiati, karyawati PT THIP tewas diterkam Bonita (Harimau Sumatera) di KCB 76 Blok 10 Afdeling 4 Eboni State PT THIP Desa Tanjung Simpang, Kecamatan Pelangiran, Inhil, pada Januari 2018.
Kedua, terjadi pada 10 Maret 2018 yakni Yusri tewas diterkam harimau saat bekerja membangun bangunan sarang walet di RT 038 Simpang Kanan, Dusun Sinar Danau, Desa Tanjung Simpang, Kecamatan Pelangiran, Kabupaten Inhil.
Ketiga, 23 Mei 2019 yakni Amri (32) warga Desa Tanjung Simpang, Kecamatan Pelangiran, Kabupaten Inhil, tewas akibat diserang harimau di kanal sekunder 41 PT Riau Indo Agropalma (PT RIA), anak perusahaan Asia Pulp & Paper (APP) Grup.
Baca juga: Petisi tertibkan perusahaan sawit ilegal diserahkan pada Gubernur Riau
"Ketiga kejadian tersebut terjadi di Lansekap Kerumutan seluas 120 ribu hektare sebagai habitat harimau yang telah dirusak 15 korporasi HTI dan HPH dan 7 korporasi Sawit," kata Okto lagi.
Sementara itu, sebanyak 15 korporasi HTI terdiri atas PT Selaras Abadi Utama, PT Rimba Mutiara Permai, PT Mitra Taninusa Sejati, PT Bukit Raya Pelalawan, PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Mitra Kembang Selaras, PT Arara Abadi, PT Satria Perkasa Agung, PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa, PT Bina Duta Laksana, PT Sumatera Riang Lestari, PT Bhara Induk, PT Riau Indo Agropalma, PT Bina Daya Bentara dan PT Inhil Hutani Permai (HTI dan HPH).
Selain itu 7 korporasi perkebunan kelapa sawit yakni PT Tabung Haji Indo plantation/ PT MGI, PT Gandaerah Hendana, PT Guntung Hasrat Makmur, PT Guntung Idaman Nusa, PT Bhumireksanusa Sejati, PT Riau Sakti Trans Mandiri dan PT Riau Sakti United Plantation dengan dua konsesi (sawit).
"Aktivitas perusahaan-perusahaan tersebut telah mengakibatkan deforestasi di Lansekap Kerumutan. Pada 2005 luas hutan alam di Lansekap Kerumutan 512.972 hektare dan kini tinggal 285.659 hektare saja. Selain menyebabkan konflik yang mengakibatkan 3 orang meninggal di landscape Kerumutan, banyaknya izin korporasi di Riau juga tidak menjaga terjadinya perburuan," katanya.
Ia menyebutkan, bahkan perburuan tersebut justru terjadi di areal korporasi restorasi ekosistem. Perburuan terjadi di konsesi restorasi ekosistem anak perusahaan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), PT Gemilang Cipta Nusantara, di Semenanjung Kampar, Riau. Harimau Sumatera ditemukan terjerat seling baja di konsesesi PT GCN, dan akhirnya mati pada 16 April 2019.
"Ini juga bukti bahwa perusahaan yang diberikan izin menjaga melalui izin restorasi ekosistem karena dianggap memiliki sumberdaya yang kuat, ternyata salah, dan pemerintah harus mengambil alih hutan alam yang tersisa itu," kata Okto.
Tidak ada jalan lain, katanya, pemerintah harus cabut izin perusahaan bila bertekad menghentikan kepunahan harimau sumatera.
Baca juga: Seratusan perusahaan sawit Riau mangkir pajak
Baca juga: Jikalahari Riau apresiasi KPK tetapkan tersangka korporasi sawit
Pewarta: Frislidia
Editor: Ridwan Chaidir
Copyright © ANTARA 2019