• Beranda
  • Berita
  • Kementerian LHK perlihatkan jerat hasil sitaan SMART-RBM

Kementerian LHK perlihatkan jerat hasil sitaan SMART-RBM

31 Juli 2019 17:11 WIB
Kementerian LHK perlihatkan jerat hasil sitaan SMART-RBM
Seorang pengunjung sedang melihat sejumlah jerat yang dihadirkan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam diskusi Darurat Jerat di Jakarta, Rabu (31/7/2019). (ANTARA/Abdu Faisal)
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memperlihat kan sejumlah jerat hasil sitaan SMART RBM (Spatial Monitoring and Reporting Tools - Report Based Management) atau sistem informasi pengelolaan kawasan konservasi yang berbasis patroli.

“Biaya yang diperlukan untuk patroli kurang lebih Rp200 juta per tim per tahun. Jenis jerat yang ditemukan sling (besar dan kecil), rotan, nilon, jerat burung, dan jerat bambu,” ujar Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Wiratno di Jakarta, Rabu.

Kinerja SMART-RBM itu diantaranya mengirim tim melakukan patroli 15 hari per bulan selama 12 bulan di dalam hutan untuk memasang perangkap kamera, membersihkan jerat dan kejahatan kehutanan lainnya selain merekam potensi dan menganalisis opsi-opsi tindakan.

"Satu tim beranggotakan tujuh orang melibatkan unsur masyarakat, staf Direktorat Jenderal KSDAE, dan mitra selama 15 hari di dalam hutan," ujar Wiratno.

Berdasarkan data yang dikumpulkan melalui SMART-RBM dan patroli rutin tersebut, tercatat 3.285 jerat yang telah diamankan oleh unit-unit pelaksana teknis (UPT) maupun mitra pada saat patroli dari tahun 2012 sampai 2019.

Jenis jerat yang terkumpul dihadirkan untuk memberi peringatan sosial (social awareness) pada masyarakat. Namun, hanya sebagian kecil yang berhasil dilumpuhkan. Jenis jerat yang ditemukan ada sling (besar dan kecil), rotan, nilon, jerat burung, dan jerat bambu. Dari keenam jenis jerat tersebut, jerat sling dan nilon dinilai yang paling mematikan.

 
Sejumlah jerat yang dihadirkan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam diskusi Darurat Jerat di Jakarta, Rabu (31/7/2019). (ANTARA/ Abdu Faisal)



Dari 2017 sampai Juli 2019, aparat penegak hukum melakukan 536 operasi penangkapan pelaku peredaran ilegal satwa liar. Dari kasus tersebut, 797 pelaku berhasil ditangkap dan 380 pelaku di antaranya telah dijatuhi vonis oleh hakim berupa hukuman penjara dan denda, sedangkan 104 kasus lainnya masih dalam tahap penyidikan dan proses persidangan.

Direktorat Jenderal (Dirjen) Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rasio Ridhi Sani mengatakan diperlukan jeratan pasal berlapis untuk para pelaku jerat.

"Kasus jerat ini menerapkan pasal berlapis, kalau perlu UU nya juga berlapis," ujar pria yang disapa Roy itu.

Pemasang jerat dapat dikenakan pasal 21 ayat 2 huruf a, juncto pasal 40 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 juta.

Dalam hal tindak pidana menangkap, melukai, membunuh satwa dilindungi dengan alat berupa jerat belum mencapai tujuan (masih berupa tindakan permulaan membawa atau memasang jerat) tetap dikenakan pidana percobaan sebagaimana diatur dalam pasal 53 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Roy mengatakan penindakan hukum bukan satu-satunya cara, namun penegakan hukum perlu dilakukan untuk melakukan efek jera. "Perlu partisipasi masyarakat juga untuk menyosialisasikan bahwa tindakan pemasangan jerat merupakan suatu kejahatan luar biasa yang harus dihentikan," ujar dia.*

Baca juga: Perlu jeratan berlapis untuk pemasang jerat

Baca juga: KLHK gencarkan operasi pembersihan jerat satwa dilindungi

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019