"Kita harus baca betul putusan MA terhadap Sjafruddin Arsyad Temenggung (SAT), kalau Syafruddin dilepas dari segala tuntutan hukum karena ada alasan pemaaf atau yang dibolehkan hukum maka tidak menghilangkan pidana terhadap pihak lain, tapi bila ada alasan pembenar maka juga tidak serta merta menghentikan kasus yang disidik KPK jika faktanya berbeda," kata Eddy OS Hiarief, di Jakarta, Rabu.
Eddy menyampaikan hal tersebut dalam diskusi "Vonis Bebas Syafruddin Siapa Salah? KPK atau MA?" yang menghadirkan Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada Eddy OS Hiarief, pakar hukum administrasi negara Universitas Atmajaya Yogyakarta Rimawan Tjandra, Koordinator Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Donal Fariz, penasihat hukum Sjamsul Nursalim, Otto Hasibuan serta penasihat hukum Syafruddin Arsyad Temenggung, Hasbullah.
Pada 9 Juli 2019 lalu, Mahkamah Agung memutuskan Syafruddin tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi, sehingga memutuskan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu lepas dari tahanan.
Vonis itu diambil karena ketua majelis Salman Luthan sependapat djudex factii pengadilan tingkat banding, yaitu Syafruddin terbukti melakukan perbuatan pidana namun hakim anggota I Syamsul Rakan Chaniago berpendapat bahwa perbuatan terdakwa merupakan perbuatan hukum perdata. Sedangkan hakim anggota II Mohamad Askin berpendapat bahwa perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan hukum administrasi.
Saat ini, KPK juga sudah menetapkan Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim sebagai tersangka perkara yang sama, namun Sjamsul dan Itjih mengajukan gugatan perdata terhadap audit BPK yang menjadi dasar penyidikan perkara tersebut.
"Kalau fakta dalam perkara Sjamsul dan Itjih sama ya otomatis dihentikan, kalau fakta beda ya terus saja, tidak bisa kalau SAT lepas seluruh pelaku peserta juga lepas karena itu kita harus lihat di putusan," kata Eddy.
Eddy mengakui bahwa KPK juga bisa tetap melanjutkan perkara bila ada kesesatan fakta dalam putusan MA yang melepaskan Sjafruddin tersebut.
"Kalau faktanya sama secara teoritis tidak bisa dilanjutkan, tapi KPK bisa saja berpendirian ada kesesatan fakta yang terjadi dalam pertimbangan MA saat Sjafruddin lepas, jadi pintu masuk untuk tetap melanjutkan kasus tersebut," ujar Eddy lagi.
Dalam acara yang sama, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan perkara Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim tetap berjalan karena perbuatan korupsi tersebut diduga memperkaya keduanya.
Namun, kuasa hukum Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim, Otto Hasibuan mengatakan bahwa perkara kilennya tidak bisa dilanjutkan.
"Meski saya belum mendapat salinan putusan, tapi kecenderungan putusan MA adalah karena alasan pembenar kalau yang satu dilepas karena alasan pembenar maka tiga lain dibenarkan jadi tidak boleh dilanjutkan penyidikannya. Bila perbuatan Sjafruddin dinilai bukan pidana maka Sjamsul Nursalim, Ijtih Nursalim dan Dorojatun pasti juga tidak bisa dituntut pidana, karena ada alasan pembenar dan penyidikan terhadap mereka tidak bisa dilanjutkan," kata Otto pula.
Baca juga: KPK masih pertimbangkan langkah hukum ketidakhadiran Sjamsul dua kali
Dalam perkara ini, Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup saat krisis moneter pada 1998. BDNI mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian "Master Settlement Aqcuisition Agreement" (MSAA).
BPPN menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp47,258 triliun yang terdiri dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp35,6 triliun dan sisanya adalah simpanan pihak ketiga maupun letter of credit.
Sedangkan aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp18,85 triliun termasuk di dalamnya utang Rp4,8 triliun dari petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Sjamsul Nursalim yang awalnya disebut Sjamsul sebagai piutang, padahal sebenarnya adalah utang macet (misrepresentasi).
Dari jumlah Rp4,8 triliun itu, sejumlah Rp1,3 triliun dikategorikan sebagai utang yang dapat ditagihkan (sustainable debt) dan dibebankan kepada petambak plasma dan yang tidak dapat ditagihkan (unsustainable debt) sebesar Rp3,5 triliun yang dibebankan kepada Sjamsul sebagai pemilik PT DCD dan PT WM berdasarkan keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) pada 27 April 2000 yang dipimpin Kwik Kian Gie.
Namun berdasarkan keputusan KKSK pada 29 Maret 2001 yang dipimpin Rizal Ramli, utang yang dapat ditagih menjadi Rp1,1 triliun dan utang tidak dapat ditagih menjadi Rp1,9 triliun berdasarkan kurs Rp7.000/dolar AS. Sjamsul tetap menolak membayarkan utang tersebut.
Baca juga: KPK disarankan lakukan gugatan perdata dalam kasus BLBI
Syafruddin lalu memerintahkan anak buahnya membuat verifikasi utang tersebut dan berkesimpulan seluruh utang "sustainable" dan "unsustainable" adalah Rp3,9 triliun dengan kurs Rp8.500/dolar AS pada 21 Oktober 2003 yang dilaporkan dalam rapat terbatas pada 11 Februari 2004, yaitu utang yang dapat ditagih ke petambak Rp1,1 triliun dan utang tak tertagih Rp2,8 triliun.
Bahkan, pada 13 Februari 2004 di bawah kepemimpinan Dorodjatun, KKSK menyetujui penghapusan utang PT DCD dan PT WM, sehingga tinggal utang petambak senilai Rp1,1 triliun dengan rincian utang petambak menjadi Rp100 juta/petambak dikalikan 11 ribu petambak, dari tadinya utang Rp135 juta/petambak.
Belakangan saat dijual ke investor, dana untuk negara tinggal Rp220 miliar, karena Rp880 miliar dipergunakan sebagai utang baru petambak yaitu Rp80 juta/petambak, sehingga pendapatan negara yang seharusnya Rp4,8 triliun menjadi tinggal Rp220 miliar atau negara dirugikan Rp4,58 triliun berdasarkan audit investigasi BPK RI.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019