Salah urus persampahan di Jakarta

1 Agustus 2019 20:12 WIB
Salah urus persampahan di Jakarta
Pekerja membersihkan sampah yang terbawa arus di kawasan pesisir Muara Baru, Jakarta, Rabu (31/7/2019). Sampah-sampah yang sulit terurai seperti botol dan kemasan plastik masih menjadi salah satu masalah besar di Jakarta. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww)
Dalam kunjungan Badan Pembentukan Peraturan Daerah (BPPD) DKI Jakarta ke Kota Surabaya, Jawa Timur, untuk studi banding mengenai pengelolaan sampah, Senin (29/7), disebutkan besar anggaran sebesar Rp3,7 triliun.

Seakan salah mendengar, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menanyakan kembali berapa besar anggaran untuk pengelolaan sampah DKI Jakarta.

Risma tampak tertawa dan merebahkan tubuhnya ke kanan, mendengar angka anggaran sampah yang terlampau tinggi di bandingkan anggarannya di Surabaya yang hanya Rp30 miliar.

Kejadian spontan Risma dalam pertemuan itu tertangkap jelas dalam sebuah video yang diunggah di saluran Bangga Surabaya di waktu yang sama, dan kini menjadi viral di media sosial.

Tak pelak, kritik terhadap kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyangkut masalah lingkungan kian menajam.

Belum selesai mengurusi masalah polusi udara terburuk se-dunia, kini masalah pengelolaan sampah Jakarta menjadi sorotan.

Anggota Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, Bestari Barus yang juga tampak dalan video tersebut, secara terang-terangan menawarkan Risma ikut pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2022 di Jakarta.

Hal itu membuat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meradang dan merasa diserang. Menurut Anies, apa yang telah dilakukan oleh Fraksi NasDem itu hingga Risma ke Jakarta adalah kritik yang salah alamat.

Seharusnya, menurut Anies, kritik tersebut ditujukan untuk gubernur sebelum dirinya.

Anies mengklaim setelah dirinya mengemban jabatan, dirinya memulai pengelolaan empat ITF (Intermediate Treatment Facility) yang sedang dalam proses pembangunan di Jakarta.

Satu fasilitas ITF, dikatakannya sudah beroperasi di tempat pembuangan sampah terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat.

Desak percepat ITF

Bestari dalam keyakinannya soal ketidakmampuan TPST Bantargebang menyokong Jakarta, mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mempercepat proses pembangunan fasilitas pengelolaan sampah Intermediate Treatment Facility (ITF), di Sunter, Jakarta Utara.

"Bantargebang di 2021 sudah tidak lagi mampu menampung sampah DKI yang paling sedikit 7.500 ton, maka Pemprov DKI harus melakukan perlompatan percepatan," ucap Bestari.

Bestari mengatakan, pembangunan ITF di Sunter yang diperkirakan oleh JakPro akan baru selesai pada 2022, kemungkinan menyebabkan penumpukan sampah di Jakarta.

ITF di Sunter yang kini sedang dalam pembangunan, diperkirakan sanggup mengolah sampah sebanyak 2.200 ton per hari.

Dengan demikian, menurut Bestari, untuk mengolah sekitar 5.300 ton sisanya, dibutuhkan tiga unit dengan kapasitas 2.000 ton atau lebih banyak lagi untuk mengolah sampah harian Jakarta.

Fasilitas dengan biaya pembangunan triliunan rupiah ini, diperkirakan akan mampu menghasilkan listrik 35 megawatt dari pengolahan sampah sebanyak 2.200 ton per hari dengan pembakaran 800 derajat, yang direncanakan sebagai pemasukan daerah dengan kerja sama bersama PLN.

Kendala

Sayangnya, permulaan proyek pengelolaan sampah dengan sistem termal di Jakarta yang menelan biaya triliun rupiah itu sempat terkendala dengan berbagai macam alasan, sejak peletakan batu pertama pada Desember 2018.

Sejumlah pengamat lingkungan menilai kendala tersebut berkaitan dengan faktor fisik Jakarta, tipping fee atau BLPS (Biaya Layanan Pengelolaan Sampah) hingga didorong kepentingan politis multipihak.

Pengamat lingkungan dari Jakarta Urban Coallition Ubaidillah mengatakan, jika dibandingkan dengan karakteristik di Kota Surabaya, Jakarta berpenduduk padat dan tidak memiliki lahan strategis untuk mengembangkan teknologi ITF selain di TPST Bantargebang.

Sehingga, rencana pembangunan sebanyak empat fasilitas ITF di sekitar Jakarta untuk mengelola sampah rata-rata 7.500 ton sehari dirasa tidak efektif, tuturnya.

Selain itu, adanya beragam kepentingan dari berbagai pihak yang terlibat proyek pembangunan ITF di Jakarta, dapat menghambat berjalannya proyek tersebut.

"Menurut kami, itu tidak menyelesaikan sampah secara keseluruhan, karena banyak kepentingan dari masing-masing pihak yang akhirnya bergantung ke TPST Bantargebang," ujar Ubaidillah.

"Harus ada kebijakan politis juga dari gubernur, bahwa pengolahan sampah ini benar-benar kebijakan daerah," ungkap dia.

Selain itu, Direktur Eksekutif Kawal Lingkungan Indonesia (Kawali) Puput TD Putra, menyebut adanya kendala pembangunan ITF di Pemprov DKI dan DPRD, karena sedang mempersiapkan revisi Peraturan daerah 3 tahun 2013.

"Itu berkaitan degan tipping fee atau BLPS (Biaya Layanan Pengelolaan Sampah), yang menjadi salah satu sumber kendala ITF belum berjalan maksimal rencana pengerjaannya," ujar Puput.

Selain itu, Puput juga mengaku heran dengan adanya friksi yang terbentuk antara DPRD dan Gubernur Anies Baswedan dalam eksekusi solusi untuk mengurangi sampah di kota Jakarta, yang sudah direncanakan sejak lama

"Kami melihat ada kepentingan politis di sini, karena seharusnya semua pihak sudah menyepakati untuk mendorong teknologi pengolahan sampah dengan sistem termal," kata Puput.

"Problemnya sebenarnya apa? Teknologinya kan sudah ada? Kesepakatannya pun sudah dibuat. Tinggal DPRD dan Gubernur, lakukan komunikasi yang harmonis," imbuh dia.

Munculnya dua kubu yang seharusnya bersinergi, antara DPRD DKI dan Pemerintah Provinsi, justru mencerminkan kondisi pengelolaan sampah DKI Jakarta kian karut-marut dan kronis.

Jika tidak ada dari dua pihak tersebut saling sepakat, bukan tidak mungkin warga Jakarta perlu mempertimbangkan Risma untuk menyelesaikan persoalan sampah Jakarta.

Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019