"Yang paling ideal dan direkomendasikan adalah masker itu mampu memfiltrasi partikel pm 2,5 atau 10 dengan kemampuan lebih dari atau sama dengan 95 persen, masker bedah kurang ideal,” kata dr Agus saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Dia menjelaskan ada beberapa jenis masker antara lain masker bedah, kain, dan respirator. Di antara jenis itu, masker jenis respirator adalah yang ideal karena mampu memfiltrasi komponen polutan hingga 95 persen.
Baca juga: Kualitas udara di Kemayoran paling baik sore ini
Baca juga: Uji emisi jadi 'catatan penting' Gubernur Anies dalam Ingub 66/2019
Baca juga: Gubernur: DLH DKI Jakarta harus tinjau emisi industri tiap enam bulan
Namun ia juga mengatakan bahwa masker bedah yang banyak digunakan tidak masalah daripada tidak pakai masker sama sekali. Menurut penelitian, masker jenis tersebut sanggup memfilter partikel antara sekitar antara 40 persen dibanding tidak pakai masker sama sekali.
"Biasanya kemampuannya (masker bedah) filtrasinya tidak maksimal tapi tetap bisa mengurangi partikel yang masuk sekitar 40 persen tapi kurang ideal. Tapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali," tuturnya.
Selanjutnya, dr Agus menjelaskan masker sebaiknya digunakan selama delapan jam agar mengurangi risiko pertumbuhan kuman dan infeksi saluran nafas.
Masyarakat DKI juga disarankannya untuk terus memantau kualitas udara Jakarta untuk mengetahui perlu tidaknya memakai masker.
"Itulah pentingnya kenapa Anda harus tahu daerah mana yang kualitas udaranya bagus dan tidak, jadi tidak wajib pakai masker seterusnya, " ucap dia.
Sebelumnya, kualitas udara Ibu Kota DKI Jakarta pada Kamis (1/8) siang pukul 11.30 WIB menjadi yang paling buruk atau tidak sehat dibandingkan negara-negara lainnya.
Tercatat di angka 161 atau dengan parameter PM2.5 konsentrasi 75,4 ug/m3 berdasarkan US Air Quality Index (AQI) atau indeks kualitas udara.
Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019