"Tadinya peta politik Indonesia bipolar. Dua kutub, kontraksinya sangat keras, sangat kencang. Hanya 01,02. Pendukung Prabowo, Jokowi. Tapi mulai ke sini sudah mulai mencair, tapi berpotensi mengkristal ke polar-polar baru, poros-poros baru. Ada pertemuan di Gondangdia, di Teuku Umar, dan sebagainya," ungkap Direktur Eksekutif Lembaga Survei Poltracking Indonesia Hanta Yudha dalam diskusi politik di Jakarta Pusat, Jumat (2/8).
Baca juga: Pengamat: Siapapun cenderung merapat ke Jokowi
Baca juga: Pakar sebut pertemuan Jokowi dan SBY bukan berarti akan berkoalisi
Baca juga: Langkah selanjutnya pascarekonsiliasi ala Jokowi-Prabowo
Menurut Hanta Yudha, kemurnian rekonsiliasi antara kubu-kubu yang bertentangan saat pemilihan presiden, bisa terlihat ketika pelantikan anggota legislatif pada Oktober 2019.
Meski koalisi calon presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo dan Ma'ruf Amin menguasai sekitar 60 persen kursi legislatif, jika Partai Gerindra ingin masuk dalam pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) maka diperlukan komunikasi politik dengan Jokowi dan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
"Kalau Gerindra, misalnya, Ahmad Muzani akan didorong menjadi pimpinan MPR, cara paling tepat untuk sukses ya memang harus membangun komunikasi dengan koalisi Jokowi, dengan Teuku Umar," ujarnya.
Hadir juga dalam diskusi tersebut, Wasekjen Partai Gerindra Andre Rosiade mengatakan pertemuan yang dilakukan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dengan kedua tokoh tersebut bukanlah rekonsiliasi bersyarat ditukar jabatan di pemerintahan atau kursi MPR.
Tapi dia tidak menampik bahwa Gerindra punya keinginan untuk mendapatkan posisi penting tersebut.
"Tapi kita juga tidak munafik, sebagai partai peraih suara terbanyak kedua, kalau seandainya diberikan kesempatan untuk mendapatkan salah satu pimpinan MPR dan kita bisa berkontribusi positif bagi bangsa dan negara, tentu kita akan mengusulkan calon kita," tegas Andre.
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019