• Beranda
  • Berita
  • Mengukur peradaban bangsa di belantara Kalimantan

Mengukur peradaban bangsa di belantara Kalimantan

3 Agustus 2019 12:54 WIB
Mengukur peradaban bangsa di belantara Kalimantan
Marni menggendong batu-batu untuk dipecahkan menjadi bagian kecil-kecil sebagai alas pembuatan aspal jalan. Marni warga Kecamatan Manuhing, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, khawatir akan SDM masyarakat lokal yang akan tertinggal dengan para pendatang jika tempat tinggalnya menjadi Ibu Kota baru, Selasa (30/7/2019). ANTARA/Afut Syafril/am.

Sejarawan Inggris Arnold J Toynbee, mendefinisikan peradaban dalam bukunya berjudul The Disintegrations of Civilization sebagai suatu kebudayaan yang sudah mencapai taraf perkembangan teknologi yang lebih tinggi.

Peradaban baginya bermula ketika manusia mampu menjawab tantangan lingkungan fisik yang keras, kemudian berhasil juga dalam menjawab tantangan lingkungan sosial. Sedangkan yang memunculkan peradaban yakni adanya minoritas kreatif dan kondisi lingkungan.

Dalam penjabaran visi ibu kota negara ke dalam konsep masterplan di Jakarta, Menteri Perancanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menjelaskan perihal visi ibu kota negara baru, yang dibangun sebagai simbol identitas bangsa.

Ia mengatakan ibu kota negara yang baru tersebut akan dibangun dengan konsep smart, green, beautiful dan sustainable. Selanjutnya, pengganti Daerah Khusus Ibu Jakarta ini akan dibuat modern dan berstandar internasional, serta menerapkan tata kelola pemerintahan yang efisien dan efektif.

Jakarta yang sebelumnya bernama Batavia, awalnya berkembang dari sebuah pelabuhan kecil yang kemudian oleh perusahaan dagang Belanda bernama VOC dijadikan sebagai kota pelabuhan yang menjadi pusat administrasi dan perdagangan internasional.

Bambang mengatakan, Batavia yang dikenal dengan sebutan Queensland of the East merepresentasikan kepentingan Belanda, bukan kepentingan rakyat Indonesia saat itu. Karenanya, ibu kota negara sebagai representasi identitas bangsa perlu rancangan dengan urban design yang dapat merepresentasikan identitas dan persatuan bangsa dalam kerangka nation and state building, serta merefleksikan kebhinekaan Indonesia.

Selain itu perlu digambarkan melalui monumental building, museum serta cultural exhibition area.
Baca juga: Presiden sampaikan lokasi ibu kota baru setelah kajian selesai
Baca juga: Harapan masyarakat adat Kalteng terhadap ibu kota baru
Baca juga: Pindah ibu kota, berlari dari gempa ke asap pekat kebakaran hutan

 
 

Konsep ibu kota baru

Pemerintah menyiapkan konsep Forest City di mana 50 persen dari total luas area ibu kota negara merupakan ruang terbuka hijau (RTH) berupa taman rekreasi, ruang terbuka hijau, kebun binatang, taman botani dan kompleks olahraga yang terintegrasi dengan bentang alam yang ada seperti kawasan berbukit dan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan struktur topografi.

Untuk enegi, Bambang mengatakan menggunakan panel surya, gas dan energi terbarukan dan rendah karbon untuk keperluan suplai listrik dan gas, lampu jalan dan gedung, serta efficient power grid. Dan untuk efisiensi dan konservasi energi diperlukan green building design melalui penerapan sistem manajemen air sirkuler, sistem pencahayaan yang efisien, dan district cooling system.

Ibu kota baru, berorientasi pada transportasi publik, sepeda, dan pedestrian terintegrasi.

Penggunaan teknologi pintar dan aplikasi yang berorientasi manusia mendukung konsep kota pintar yang mandiri dan aman. Selain itu, Bambang mengatakan universitas internasional, penelitian, dan industri high-techmenjadi salah satu magnet pertumbuhan.

Penerapan sistem komunikasi terintegrasi dan Intelligent Transport System serta sistem manajemen air pintar berbasis Internet of things (IoT). Selain itu, penerapan manajemen sampah pintar dengan pengelolaan dengan prinsip sampah untuk energi.

Dengan semua kemutakhiran konsep dan teknologi, calon ibu kota negara disiapkan menjadi modern dan bertaraf internasional dengan pengadaan fasilitas memenuhi standarisasi internasional (ISO). Sistem drainase urban berkelanjutan dibangun untuk meminimalisir run off dan waktu resapan yang maksimal.

Bambang mengatakan mobil listrik akan digunakan di sana, lalu rumah dan bangunan hijau untuk menjamin kesehatan masyarakat. Sekolah atau universitas tentu berstandar internasional, dan ke depannya universitas hanya akan memiliki studi-studi ilmu pasti.

Fasilitas selanjutnya adalah rumah sakit dan fasilitas olahraga. Semuanya harus berbasis teknologi informasi dan telekomunikasi, sehingga memastikan ibu kota negara sesuai dengan era revolusi industri 4.0.

Apa yang ia maksud dengan ruang terbuka hijau bukan berarti tanah yang terbuka, tetapi area hijau yang sebenarnya.

Saat membangun ibu kota baru dari nol, maka yang juga dilakukan adalah memulihkan lagi lingkungan di Kalimantan.

"Komitmen besar kami adalah ini tidak akan mengurangi ukuran hutan kawasan lindung Indonesia," ujar Bambang.
 

Foto udara kawasan Bukit Nyuling, Tumbang Talaken Manuhing, Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Kamis (25/7/2019). Daerah yang menjadi bakal calon Ibu Kota Negara itu telah ditinjau oleh Presiden Joko Widodo pada bulan Mei lalu saat mengecek kelaikan lokasi terkait wacana pemindahan Ibu Kota Negara (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak)




Tegakkan tata ruang

Peneliti Geografi Sosial dan Ekonomi pada Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Iptek dan Inovasi LIPI Galuh Syahbana Indraprahasta mengatakan yang paling penting ketika sudah ada tata ruang maka itu harus ditegakan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penataan Ruang.

“Karena isu paling pokok di tata ruang itu bukan perencanaannya. Perencanaan bagus tapi tidak ditegakkan itu sama saja bohong. Jadi harus ada instrumen hukum yang ditegakan sehingga orang yang melanggar jera melakukannya,” ujar dia.

Lebih lanjut ia mengingatkan bahwa yang akan menempati ruang adalah manusia bukan robot, karenanya mereka juga perlu dicerdaskan. Hukum ditegakkan, namun pastikan juga mereka paham telah melakukan hal tidak baik, dan tidak akan melakukan lagi.

Proses pencerdasan tersebut, menurut Galuh, dilakukan bersama antara masyarakat dan pemerintah.

Selanjutnya, jika berbicara tentang perencanaan dan pembangunan selalu perlu untuk dibahas apakah ingin melakukan perencanaannya dulu atau bangunan fisik dulu. Namun jika yang diinginkan mengontrol, sebaiknya mereka yang akan pindah ke ibu kota baru menempati ruang yang sudah ada lengkap dengan aksesnya.

“Jangan sampai mereka menempati satu ruang baru namun mereka harus ciptakan sendiri aksesnya,” lanjutnya.

Perbedaan ritme masyarakat yang terbiasa hidup di kota seperti Jakarta, dihadapkan dengan sebuah kota baru yang akses dan fasilitasnya belum lengkap bisa membuat mereka tidak nyaman. Yang mungkin terjadi adalah mereka akan terbang lagi ke Jakarta saat akhir pekan, sehingga ibu kota baru hanya akan seperti “ghost town”, kata Galuh.

Negara-negara Skandinavia, menurut Galuh, merancang sebuah kota dengan akses yang memang membuat orang membuat pilihan jelas, mau tinggal di sana atau tidak tinggal di sana.

Finger Plan menjadi perencanaan kota yang sangat terkenal yang dirancang pada 1947 untuk mengembangkan area metropolitan Kopenhagen, Denmark. Galuh mengatakan perencanaan kota ini dikembangkan berbasis pada traffic oriented development (TOD).

Kota Kopenhagen berkembang sepanjang lima jari saja, terpusat pada jalur commuter lines S-Train yang membentang di sepanjang “jari di telapak tangan”.

Sementara di sela-sela “irisan jari” diperuntukkan sebagai ruang terbuka hijau yang memiliki fungsi untuk pertanian dan rekreasi. Kota Kopenhagen dengan luas 3.030 kilometer persegi (km2) hanya menampung 2.04 juta penduduk di 2017.

Baca juga: Pindah ibu kota, ini sarana dan infrastruktur yang harus dibangun
Baca juga: Pindah ibu kota solusi pemerataan pembangunan bangsa

 

Selesaikan persoalan Jakarta

Kondisi tersebut tentu berbeda jauh dengan DKI Jakarta yang hanya memiliki luas wilayah 661,57 km2 namun berpopulasi 9,6 juta jiwa. Karenanya, Galuh mengatakan tetap harus ada solusi untuk Jakarta, tidak bisa ditinggalkan begitu saja mengingat persoalannya begitu kompleks.

Dari perspektif internal, permasalahan yang terjadi di Jakarta, khususnya Jabodetabek, menjadi semakin kompleks seperti kemacaten, banjir, kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun, dan sebagainya. Meskipun Jabodetabek terus tumbuh dan produktif secara ekonomi, namun biaya-biaya ekternalitas negatif yang dihasilkan juga semakin besar dan menyebabkan diseconomies of scale.

Salah satu implikasinya adalah tingkat urbanisasi Jabodetabek tidak mendorong tingkat produktivitas ekonomi yang sepadan, misal dibandingkan dengan korelasi urbanisasi-ekonomi di Vietnam, Thailand dan China.

“Bagaimana pun Jakarta akan ditinggalkan namun tetap menjadi pusat bisnis,” ujar dia.

Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Yulianto mengatakan pembenahan harus dilakukan di Jakarta, tidak bisa hanya meninggalkannya begitu saja.

Kebijakan-kebijakan tegas harus ditegakkan untuk membenahi persoalan sebuah kota, dan contoh keberhasilan sudah ada di Bangkok dan Tokyo terkait upaya mengembalikan tinggi muka air tanah.

“Tinggi muka air tanah Bangkok sudah kembali lagi, begitu juga dengan Tokyo. Pemerintah mereka mengeluarkan pelarangan ekspoitasi air tanah 15-20 tahun lalu, itu yang mereka lakukan dan berhasil,” ujar Eko.

Eko kembali mengatakan bahwa sikap manusia yang menghuni kota lah yang akan menentukan keberhasilan pemindahan sebuah ibu kota. Jika sikap yang ada di Jakarta dibawa ke lokasi baru, maka itu hanya akan memindahkan persoalan.

Ibu kota baru sebagai katalis peningkatan peradaban manusia Indonesia yang, menurut Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, harus mampu menjamin keberlangsungan sosial, ekonomi dan lingkungan.

Ibu kota baru sebagai representasi kemajuan bangsa yang unggul harus mencerminkan identitas bangsa yang cerdas, modern, berstandar internasional, ujar dia.

Maka, belantara Kalimantan akan menjadi saksi sekaligus tempat pembuktian sudah seberapa tinggi tingkat peradaban Bangsa Indonesia yang sebenarnya.

Baca juga: Reaksi warga Gunung Mas sambut ibu kota baru
Baca juga: Menanti desain ibu kota baru pengganti Jakarta

 

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2019