• Beranda
  • Berita
  • Menghilangkan praktik bisnis pakaian seragam di sekolah

Menghilangkan praktik bisnis pakaian seragam di sekolah

4 Agustus 2019 10:26 WIB
Menghilangkan praktik bisnis pakaian seragam di sekolah
Danki Yonif 126/KC Kapten Inf Jendakami Sembiring yang mewakili Dansatgas Pamtas Yonif 126/KC memberikan secara simbolis seragam dan buku sekolah kepada Samhot Nokoraja, salah satu guru SD Inpres Yabanda di Kampung Yabanda, Distrik Yaffi, Kabupaten Keerom, Papua. (Dokumen Yonif 126/KC)
Muhammad Arif hanya bisa menarik napas panjang ketika putra sulungnya yang baru baru masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) menyampaikan bahwa harga pakaian seragam dari sekolah yang wajib dibeli siswa baru senilai Rp2,2 juta.

Warga Kota Ternate, Maluku Utara (Malut) itu tidak tahu dari mana bisa mendapatkan uang Rp2,2 juta karena penghasilannya sebagai tukang ojeg untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja sering tidak cukup.

Meminjam uang kepada rentenir dengan jaminan BPKB sepeda motor terpaksa ia lakukan agar bisa membayar empat pasang pakaian seragam sekolah untuk anaknya yang terdiri atas pakaian putih biru, pramuka, batik dan pakaian olahraga.

Banyak warga Ternate berpenghasilan pas-pasan yang anaknya masuk SMP atau SMA juga melakukan hal serupa, karena kalau mereka tidak membeli pakaian seragam yang dijual sekolah, anaknya tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah.

Pihak sekolah beralasan sengaja menyediakan pakaian seragam untuk dibeli siswa baru agar ada keseragaman warna dan model pakaian, sehingga akan terlihat rapi saat siswa mengikuti proses belajar mengajar sekolah.

Pihak sekolah menganggap menjual pakaian seragam kepada siswa baru tidak melanggar aturan karena dilakukan atas persetujuan orang tua siswa melalui Pengurus Komite Sekolah.

Bagi orang tua siswa tidak mampu, sekolah memberi toleransi untuk membayar harga pakaian seragam sekolah dengan cara mengansur, sehingga tidak terlalu membebani, bahkan bagi yang benar-benar tidak mampu akan digratiskan.

Dewan Pendidikan Kota Ternate, seperti yang disampaikai ketuanya, Asghar Saleh, apapun alasannya penjualan pakaian seragam di sekolah melanggar keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang secara tegas melarang adanya praktik seperti itu di sekolah.

Adanya persetujuan orang tua melalui Komite Sekolah tidak bisa dijadikan alasan pembenar, karena umumnya Komite Sekolah langsung memberikan persetujuan tanpa terlebih dahulu rapat dengan orang tua siswa.

Kalau pun dilakukan rapat dengan orang tua siswa, biasanya Komite Sekolah lebih cenderung membeli kebijakan sekolah dan orang tua siswa pun memilih diam, karena kalau menyatakan penolakan khawatir akan berdampak buruk kepada anaknya di sekolah.

Penjualan pakaian seragam di sekolah itu dapat dikategorikan sebagai praktik bisnis dan itu tergambar dari harganya yang mencapai Rp2,2 juta empat pasang atau rata-rata Rp600 ribu per pasang, padahal di pasaran paling mahal Rp200 ribu per pasang.


Rugikan UKM

Kebijakan sekolah di Ternate menjual pakaian seragam kepada siswa baru juga merugikan para pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) yang bergerak di bidang usaha penjahitan pakaian dan penjualan pakaian seragam sekolah.

Para pelaku UKM itu dulunya setiap tahun ajaran baru bisa meraih pendapatan puluhan juta rupiah, tetapi sekarang setelah adanya kebijakan sekolah yang mewajibkan siswa baru membeli pakaian seragam di sekolah, mereka tidak lagi meraih pendapatan seperti itu.

Pasalnya pihak sekolah dalam pengadaan pakaian seragam untuk dijual para siswa tidak memanfaatkan pelaku UKM setempat, tetapi mendatangkannya dari Sulawesi atau Jawa dengan alasan harga lebih murah.

Kepala Dinas Pendidikan Nasional Ternate Ibrahim Muhammad mengaku sekolah sebenarnya dilarang menjual pakaian seragam kepada siswa baru dan akan memberikan sanksi tegas kepada sekolah yang melanggar larangan itu.

Tetapi akhirnya Dinas Pendidikan Nasional tidak bisa berbuat apa-apa terhadap sekolah yang melanggar larangan itu, karena setelah diklarifikasi di lapangan semuanya dilakukan atas persetujuan orang tua siswa melalui Komite Sekolah di masing-masing sekolah.

Program pendidikan gratis yang dilaksanakan Pemkot Ternate selama ini hanya untuk hal-hal yang terkait dengan operasional sekolah, sedangkan yang terkait dengan pakaian seragam siswa sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang tua siswa.

Kalangan DPRD Ternate, seperti disampaikan anggota Komisi III DPRD Nurlela Syarif juga tidak mempermasalahkan sekolah menjual pakaian seragam kepada siswa baru.

Namun, DPRD menginginkan penjualan pakaian seragam itu bukan wajib, artinya siswa baru bisa memakai pakaian seragam yang dibeli sendiri di luar dan harganya harus rasional dan tidak ada kesan praktik bisnis yang sangat dilarang dalam pelaksanaan proses pendidikan.

Harga pakaian seragam yang ditetapkan di Ternate sampai di atas Rp2 juta untuk empat pasang dinilai tidak rasional, terutama jika dibandingkan dengan harga di pasaran setempat yang paling mahal Rp800 ribu untuk harga pakaian sebanyak itu.

Penetapan harga pakaian seragam sekolah sebesar itu jelas sangat memberatkan orang tua siswa, terutama yang berpenghasilan rendah, apalagi pada saat yang sama anaknya ada yang masuk SMP dan masuk SMA.

Oleh karena itu, DPRD menyarankan kepada Pemkot Ternate untuk membuat regulasi yang mengatur penjualan pakaian seragam sekolah yang tidak lagi di masing-masing sekolah tetapi langsung di Dinas Pendidikan Nasional dan harganya harus sama dengan harga di pasaran, bahkan kalau bisa lebih murah khusus untuk yang tidak mampu.


Di Panajam gratis

Di Penajam Utara, Kaltim, sedikitnya 55.253 peserta didik atau siswa baru yang diterima di sekolah-sekolah negeri pada tahun ajaran 2019-2020 mendapatkan seragam sekolah secara cuma-cuma alias gratis dari pemerintah kabupaten setempat.

Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas'ud mengatakan seragam sekolah itu artinya mulai topi sampai sepatu akan diberikan gratis kepada siswa baru dari jenjang pendidikan dini hingga menengah pertama.

Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara memberikan seragam sekolah secara gratis kepada peserta didik baru pada pendidikan anak  usia dini (PAUD), taman kanak-kanan (TK), sekolah dasar (SD) serta sekolah menengah pertama (SMP).*
​​​​​​

Pewarta: La Ode Aminuddin
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019