Petaka gelap itu dimulai Minggu siang sekitar pukul 11.45 WIB, ketika Jakarta kehilangan daya terangnya, membuat aktivitas warga Ibu Kota lumpuh seketika, tidak bisa berbuat apa-apa.
Kereta api Jabodetabek seketika terhenti melaju, moda raya terpadu (MRT) mematung tak bergerak maju. Satu per satu penumpang dievakuasi dari pintu menyusuri jalanan rel yang berbatu.
Tersiar kabar pemadaman itu akan berlarut hingga malam menjelang. Tak ayal banyak warga tak sabar mencari sumber penerangan.
Ini bukan kali pertama ternyata, petaka serupa juga pernah terjadi 22 tahun silam. Begitu dikatakan Guru Besar Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Pekik Argo Dahono. Pemadaman itu terjadi tak kalah lama dibanding tahun ini.
Baca juga: Pakar sebut Jakarta rentan alami mati listrik
“Yang paling besar tahun 1997 di atas 10 jam, sebaran wilayah hampir se-Jawa. Kalau sekarang ini hanya Jawa bagian barat yang utama,” katanya saat dihubungi Antara, Senin.
Di tahun 2019, kejadian itu terulang kembali pada Minggu yang seharusnya kebutuhan orang akan listrik lebih kecil daripada hari-hari biasanya.
Namun ternyata asumsi itu tidak sepenuhnya benar. Menjelang petang, warga justru sudah berkerumun di depan toko pusat perbelanjaan Glodok, menunggu giliran untuk membawa pulang satu kardus genset.
Padamnya listrik membuat warga berbondong-bondong memburu genset untuk sumber pencahayaan di rumahnya. Salah satu toko genset di kawasan Glodok misalnya ramai diserbu warga sejak pukul 14.00 WIB.
Beberapa dari mereka rela menunggu lama demi sebuah genset. Salah seorang pembeli Ria misalnya mengaku sangat membutuhkan benda itu karena keluarganya sangat membutuhkan pasokan listrik.
Baca juga: Pelaku usaha tekstil desak PLN pangkas tagihan listrik
“Saya punya anak kecil soalnya di rumah jadi buat air dan lampu itu perlu,” kata Ria.
Tak seperti biasanya pula, Glodok yang menjadi pusat pertokoan pun mulai menutup diri. Beberapa toko seperti Harco Glodok, Pasar HWI, LTC Glodok dan toko-toko elektronik di sepanjang jalan tutup lebih awal padahal hari masih terang.
Petaka itu pun memanjang, berlarut hingga malam menjelang.
Saat malam tiba, warga mulai keluar mencari berbagai cara agar tetap terhubung dengan kehidupan dan pekerjaannya, mencari sumber listrik di sejumlah pusat perbelanjaan.
Beberapa mal di Jakarta menjadi salah satu pilihan bagi mereka yang membutuhkan listrik dan akses internet sehingga membuat mal malam itu lebih padat.
Salah satu pengunjung pusat perbelanjaan Setiabudi One, Mutiasari misalnya memutuskan untuk pergi ke mal ketika mengetahui pemadaman listrik akan berlangsung cukup lama. Ia mengaku sumber listrik sangat penting untuk komunikasi dan menuntaskan pekerjaannya.
Penyebab pemadaman listrik serentak di Jabodetabek, Jawa Barat, dan Banten, menurut PLN itu diakibatkan gangguan pada transmisi di Ungaran-Pemalang. Gangguan tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan tegangan yang menyebabkan jaringan di Depok-Tasikmalaya mengalami gangguan.
“Pada pukul 11.45 detik ke-22, pada Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 500 kV Ungaran-Pemalang terjadi gangguan pada sirkuit satu. Kemudian disusul gangguan pada sirkuit kedua sehingga dua-duanya terjadi gangguan,”kata Dirut PLN Sripeni Inten Cahyani di Depok, Minggu (4/8).
Hingga pada akhirnya pada pukul 17.30 WIB, tegangan listrik berhasil dialirkan ke Gardu Induk Tegangan Extra Tinggi (GITET) Balaraja dan untuk selanjutnya menuju PLTU Suralaya agar dapat beroperasi secara bertahap mencapai kapasitas 2. 800 MW.
Selain itu, dari GITET Gandul akan disalurkan ke PLTGU Muara Karang untuk memasok aliran listrik ke DKI Jakarta, dan membutuhkan untuk bisa pulih kembali secara keseluruhan selama tiga jam.
Untuk diketahui, pasokan listrik di wilayah DKI Jakarta berasal dari pembangkit yang terhubung di grid 150 kV adalah sekitar 3.690 MW yang berada di dua lokasi yaitu PLTGU dan PLTU Muara Karang dan PLTU, PLTG Tanjung Priok.
Pasokannya melalui enam GITET yaitu Gandul, Kembangan, Cawang, Bekasi, Cibinong, dan Depok dengan kapasitas total 8.000 MVA.
Pelayanan publik terganggu
Pemadaman listrik selama delapan jam tidak hanya menghambat aktivitas domestik, tetapi juga pelayanan publik.
Transportasi umum bertenaga listrik seperti Commuter Line (KRL) dan Mass Rapid Transportation (MRT) terganggu saat pemadaman listrik sejak pukul 11.45 WIB. Kondisi tersebut juga menyebabkan pergeseran jadwal sejumlah KA KRL terakhir agar tetap dapat melayani para pengguna yang memang mengandalkan commuter line.
KA yang terhenti di tengah jalan itu membuat para penumpang yang terjebak di dalam gerbong kereta harus turun di tengah jalan. Ada tujuh kereta yang berada di jalur rel antara stasiun, sementara 16 kereta berhenti di stasiun sehingga memudahkan proses evakuasi pengguna. Ratusan calon penumpang pun terjebak di stasiun-stasiun hingga rela menunggu keberangkatan KRL selama beberapa jam.
Hingga pukul 00.30 WIB, layanan KRL Commuter Line masih dalam proses menormalkan kembali operasional pascapemadaman listrik yang sudah menyala sekitar pukul 19.00 WIB.
Begitupun dengan MRT. Saat terjadi gangguan listrik ada penumpang yang terjebak di stasiun-stasiun bahkan ada yang terjebak di rangkaian kereta.
Total ada empat rangkaian kereta ratangga yang sempat terjebak di antara stasiun bawah tanah yakni Bendungan Hilir-Istora, Istora-Bendungan Hilir, Lebak Bulus-Fatmawati dan Fatmawati-Lebak Bulus. Penumpang yang terjebak dalam rangkaian terpaksa harus keluar melalui pintu Platform Screen Door (PSD) yang dibuka secara manual.
Adapun jumlah penumpang yang dievakuasi dari seluruh stasiun termasuk yang dari kereta dengan melalui stasiun terdekat berjumlah 3.410 dalam keadaan baik dan selamat.
Bukan hanya transportasi publik, arus lalu lintas pun ikut tersendat akibat putusnya aliran listrik di seluruh Jabodetabek. Lampu lalu lintas yang terpasang di persimpangan jalan mati hingga mengakibatkan penumpukan kendaraan.
Pengendara yang secara bersamaan melewati persimpangan pun menyebabkan kemacetan di beberapa ruas jalan di Jakarta.
Sejumlah pelayanan umum lainnya seperti SPBU tutup dan tidak melayani pembeli bahan bakar minyak. Layanan Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta Barat misalnya meskipun tetap berjalan normal namun sebagian pelayanan tutup dan tampak sepi.
Dunia usaha merugi
Pemadaman listrik selama delapan jam tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga industri dan dunia usaha. Yang tampak nyata adalah pekerja dan pengguna moda transportasi daring menjadi terhambat karena sambungan telekomunikasi yang juga ikut tersendat.
Kamar Dagang Indonesia (Kadin) DKI Jakarta mengatakan pengusaha mengalami kerugian besar hingga triliunan saat listrik padam hampir delapan jam.
Tidak hanya itu, kejadian tersebut juga terimbas pada banyaknya sektor usaha dan pelayanan publik yang hampir lumpuh seperti MRT, Commuter Line, ATM, jaringan telekomunikasi, pelayanan pintu tol, pelayanan kesehatan, lalu lintas.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pun tak tinggal diam atas dampak pemadaman listrik PT PLN (Persero) yang diakuinya telah merugikan masyarakat dengan nilai yang tidak terhingga.
Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi mengatakan pemadaman itu menjadi pertanda bahwa infrastruktur pembangkit PLN belum memadai. Program pemerintah menurutnya harus meningkatkan keandalan pembangkit PLN dan infrstruktur pendukung lainnya seperti transmisi, gardu induk, dan gardu distribusi.
Selain merugikan industri usaha lokal, ia juga mengkhawatirkan pemadaman serentak itu dapat berdampak pada ketidakpercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Delapan jam Ibu Kota kehilangan dayanya adalah sebuah penderitaan bagi warga Jakarta. Tanpa sumber daya listrik, segala aktivitas menjadi tersendat. Selain itu, peristiwa ini telah menunjukkan betapa rapuhnya manusia tanpa aliran listrik.
Mengutip yang dikatakan Sting dalam lagunya berjudul Fragile, “how fragile we are, how fragile we are.” Betapa rapuhnya manusia.
Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2019