• Beranda
  • Berita
  • Ratusan pencari suaka di Tanjungpinang kembali demo

Ratusan pencari suaka di Tanjungpinang kembali demo

6 Agustus 2019 15:52 WIB
Ratusan pencari suaka di Tanjungpinang kembali demo
Ratusan pencari suaka yang tinggal di Hotel Badra, Kabupaten Bintan, kembali berunjuk rasa di depan Kantor IOM Tanjungpinang, Selasa (6/8). Mereka menuntut kebebasan dan keadilan. (Nikolas Panama)

Di negara mana pun asalkan kami dapat pendidikan, bekerja dan hidup bebas, kami mau

Sekitar 250 orang pencari suaka yang tinggal di Hotel Badra, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, kembali demonstrasi di Kantor Organisasi Internasional untuk Migrasi
(International Organization for Migration/IOM) Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Selasa (6/8).

Aksi tersebut dilakukan setelah demonstrasi sebelumnya tidak membuahkan hasil. Aksi hari ini yang berlangsung mulai pukul 09.00-12.00 WIB juga belum memenuhi tuntutan para pencari suara.

Mereka menuntut keadilan, dan pertanggungjawaban dari Badan Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (United Nations High Commissioner for Refugees/UNHCR).

Para pengungsi juga menyampaikan aspirasi agar diperlakukan sebagai manusia yang harus diselamatkan bangsa lain. Mereka tidak menuntut harus tinggal di negara ketiga, Australia, Kanada dan Amerika Serikat.

"Di negara mana pun asalkan kami dapat pendidikan, bekerja dan hidup bebas, kami mau," kata salah seorang Pencari suaka, Ali Rizal Nazario yang fasih menggunakan Bahasa Indonesia.

Pengunjuk rasa berasal dari Sudan, Afghanistan, Somalia dan Pakistan itu juga menegaskan bahwa mereka bukan pelaku kriminal. Mereka mengharapkan kebebasan, dapat bekerja dan berpendidikan setelah 5-7 tahun tinggal di Rumah Detensi Imigrasi Tanjungpinang dan Hotel Badra Bintan.

"Proses segera agar kami dapat tinggal di negara ketiga," katanya.

Mereka sangat menghormati peraturan Indonesia, dan menyukai warga Indonesia yang ramah. Namun, selama ini kehidupan para pencari suaka tidak bebas.

Ali sebelumnya tinggal selama bertahun-tahun di Rudenim Balikpapan. "Banyak teman-teman mengalami depresi dan gangguan mental," ucapnya.

Unjuk rasa ini merupakan akumulasi dari kekecewaan para pencari suaka. Mereka tidak kecewa dengan perlakuan Pemerintah Indonesia, melainkan dengan IOM dan UNHCR, yang sampai sekarang belum memberi jawaban yang pasti kapan diberangkatkan ke negara ketiga.

"Kami ingin semua negara mendengar tuntutan kami. Kami ingin keadilan, diperlakukan sebagai manusia," ujar Alzobier Pasha, pencari suaka asal Sudan, yang mahir menggunakan Bahasa Indonesia.

Pencari suaka selama ini merasa diperlakukan dengan baik oleh Pemerintah Indonesia. Masyarakat Bintan pun menerima mereka dengan baik.

Namun, kebebasan adalah kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar, karena para pencari suaka pun memiliki masa depan, yang sampai sekarang masih sebatas mimpi.

Mereka ingin mendapat pendidikan yang layak, pekerjaan dan kehidupan yang bebas seperti warga lainnya.

"Kami ingin berita ini tersiar ke seluruh dunia, didengar dan ditanggapi PBB," ujarnya.

Alzobier, salah seorang pencari suaka mengatakan cukup banyak para pencari suaka yang mengalami gangguan mental dan depresi. Beberapa pencari suaka di Bintan dan Batam sudah mengakhiri hidupnya karena tidak sanggup menghadapi permasalahan keluarga dan dirinya sendiri.

"Kami punya keluarga. Kami rindu keluarga. Kami pikirkan keluarga setiap saat, dan pikirkan diri kami sendiri. Kami lelah," katanya.

Jhon (30), pencari suaka asal Pakistan mengatakan rasa syukur selalu dipanjatkan kepada Tuhan atas kebaikan masyarakat Indonesia.

"Namun kami juga punya keluarga, punya kehidupan dan sisa umur untuk hal-hal yang berguna," tambahnya.

Jon mengatakan sebagian pencari suaka sudah lebih dari tujuh tahun tinggal di Rudenim Tanjungpinang, yang kemudian pindah ke Hotel Badra sejak dua tahun lalu.

"Kami sudah dijanjikan berulang kali untuk diberangkatkan ke negara ketiga, namun sampai sekarang masih belum berangkat," ungkapnya.

Kasat Intelkam Polres Bintan AKP Yudiarta Rustam mengatakan tuntutan para pengungsi tidak mungkin terealisasi jika negara ketiga seperti Australia, Amerika Serikat dan Kanada tidak membuka diri. Para pencari suaka itu mengetahui kondisi saat ini.

"Dipaksa sekalipun tidak akan ada solusi sepanjang negara ketiga tidak menerima para pengungsi," ujarnya.

Yudi melakukan negosiasi dengan berbagai para pengungsi. Berbekal pengalamannya menangani para pengungsi tersebut, Yudi berhasil melakukan negosiasi.

"Selama delapan tahun saya menangani permasalahan pengungsi. Jadi sangat memahami permasalahan ini," ujarnya.

Yudi meminta para pengungsi melakukan cara-cara yang diplomatis dalam menyampaikan aspirasi.

Sementara itu, Kepala Misi IOM, Dejan Mecavski memberi klarifikasi terhadap pemberitaan yang dinilainya menyudutkan IOM.

IOM bekerja sama dengan UNHCR. Tetapi tidak mempunyai andiI dalam memberikan masukan mau pun pengambilan keputusan yang berkenaan dengan proses penempatan pengungsi ke negara ketiga. Organisasi ini tidak, menyelenggarakan wawancara untuk Penentuan Status Pengungsi (PSP).

Walaupun IOM menyediakan penerjemah untuk membantu staf UNHCR dalam melakukan tugas-tugasnya, melakukan identifikasi dan mengajukan pengungsi untuk dipertimbangkan dalam proses penempatan ke negara ketiga, berpartisipasi dalam kasus deportasi

Peran IOM dalam membantu Para Migran di Indonesia, didirikan pada tahun 1951 dan berkantor pusat dl Jenewa. IOM berkomitmen untuk mendorong praktik migrasi yang tertib dan manusiawi, bermanfaat bagi migran dan masyarakat dan bekerja sama dengan mitra kerjanya di komunitas lnternasional untuk membantu pemerintah mengatasi tantangan perkembangan program manajemen migrasl, memberikan pemahaman terdepan mengenal masalah-masalah migrasi, mendorong pembangunan sosial dan ekonomi melalui migrasi, menegakkan martabat manusia dan kesejahteraan para migran.

IOM telah mendukung Pemerintah Indonesia dalam usahanya mengatasi permasalahan migrasi baik domestik maupun internasional sejak tahun 1979. Melalui kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Australia, IOM ini memberikan bantuan dan perawatan bagi sekitar 8.300 migran dari negara lain yang tinggal di Indonesia, menunggu penempatan dl luar negeri.

Pewarta: Nikolas Panama
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019