"Setiap tahunnya, rata-rata ada 50 kekerasan pada wartawan. Itu hanya yang tercatat dan terlapor, ya," kata dia di sela-sela seminar nasional bertajuk "Wajah Kebebasan Pers Indonesia" yang diadakan di JS Luwansa Hotel, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa.
Dalam monitoring yang dilakukan AJI, kasus kekerasan terhadap jurnalis masih tergolong tinggi di Indonesia, kendati mengalami penurunan sejak tahun 2016 yang mencapai angka 81.
Namun, ia juga memaparkan bahwa hal ini patut dinilai ikut memberi kontribusi ancaman signifikan bagi iklim kebebasan pers.
Menanggapi hal tersebut, Direktur LBH Pers Ade Wahyudin menyinggung kasus terbakarnya rumah salah seorang wartawan di Aceh beberapa waktu lalu, yang motif pembakarannya belum terkuak hingga kini. Menurutnya, kasus ini perlu diusut lebih jauh.
"Pembakaran (rumah), baik itu milik jurnalis atau bukan jurnalis tidak bisa dibenarkan karena sangat mengancam jiwa. Ini harus polisi usut dan jika tertangkap, kita bisa tahu modusnya apa," papar Ade dalam kesempatan yang sama.
Terlepas dari apakah motif pembakaran tersebut, ia mengatakan bahwa kriminalisasi terhadap wartawan tidak sepatutnya terjadi, utamanya bila berita yang disiarkan masih berada pada koridor kode etik jurnalistik.
"Pers memiliki konsekuensi sebagai subjek hukum, ini adalah pers tidak kebal hukum dan harus tunduk kepada hukum nasional. Namun ada hal-hal tertentu yang harus dihindari seperti pemidanaan terhadap pers khususnya dalam hal karya jurnalis," tutupnya.
Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019