Menurutnya, terdapat batasan-batasan yang dapat membedakan antara kedua hal tersebut.
Baca juga: Bareskrim tangkap warganet pengunggah ujaran kebencian
Baca juga: Tersangdung kasus ITE, guru les di Jakut ajukan penangguhan penahanan
"Ujaran kebencian ya ujaran kebencian.
Kebebasan pendapat diungkapkan secara nalar, dan bisa dipertanggungjawabkan. Kebebasan berpendapat itu dibatasi oleh kebebasan berpendapat orang lain, hakmu dibatasi oleh orang lain," kata dia usai diskusi media di kantornya, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat.
Ujaran kebencian, lanjutnya, adalah bagaimana seseorang atau kelompok menyerang personal atau agama suatu kelompok dan dapat mengancam demokrasi dan HAM.
Menurut Amir, batasan-batasan antara ujaran kebencian dan kebebasan berpendapat dapat dilihat dari apakah ucapan tersebut mengandung unsur mengancam seseorang atau golongan tertentu, dan apakah ucapan tersebut juga mengandung unsur kekerasan.
"Kita bisa lihat apakah dalam 'pendapat' itu terdapat unsur 'violence'-nya. Jika iya, maka itu tidak bisa dikategorikan kebebasan berpendapat, itu adalah ujaran kebencian," paparnya.
Amir kemudian mengatakan bahwa problema ujaran kebencian ini merupakan permasalahan global. Menurutnya salah satu penyebab masif dan cepatnya penyebaran ujaran kebencian adalah karena pesatnya perkembangan teknologi informasi.
Kini, semua orang dengan gawainya bisa dengan mudah dan cepat membuat opini tertentu tanpa harus pergi ke sasarannya.
Amir berpendapat bahwa penting bagi tiap negara termasuk Indonesia untuk dapat mengimbangi cepatnya laju teknologi komunikasi ini.
"Tantangannya adalah bagaimana perangkat demokrasi kita menyusuaikan dan mengimbangi moda komunikasi, sehingga imbang dan tidak tertinggal, agar instrumen demokrasi kita tidak kepayahan dalam hal ini," katanya.
Baca juga: Pasang status tak usah pasang foto presiden, guru les jadi tersangka
Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Eddy K Sinoel
Copyright © ANTARA 2019