Ruang untuk kembali menurunkan suku bunga acuan masih terbuka dalam beberapa waktu ke depan dan Bank Sentral tinggal menemukan waktu yang tepat, asalkan stabilitas eksternal terjaga, serta ketahanan indikator ekonomi domestik mendukung pelonggaran tersebut, kata Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI).
Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo di Jakarta, Senin, mengatakan eksekusi pelonggaran kembali suku bunga acuan perlu melihat momentum yang tepat. Penurunan suku bunga kebijakan untuk kedua kalinya tahun ini bisa dilakukan aslkan tidak menimbulkan risiko pada target pencapaian stabilitas perekonomian, misalnya tidak memberikan imbas negatif terhadap stabilitas nilai tukar rupiah.
"Yang penting kan masalah 'timing' (waktu) saat ini. Penurunan suku bunga bisa dilakukan asal tidak beirisko pada stabilitas, misalnya rupiah yang bisa tertekan," kata Dody dalam seminar pertumbuhan sektor manufaktur di Gedung BI.
Menurut Dody, seluruh sumber tekanan terhadap ekonomi domestik masuk dalam radar Bank Sentral sebelum menentukan kebijakan suku bunga acuan ke depannya. Dalam beberapa waktu terakhir, sumber masalah yang diperhatikan Bank Sentral didominasi tekanan dari ekonomi global terkait perang dagang antara AS dan China yang tidak kunjung usai.
Perang kebijakan antara AS dan China turut berdampak pada pasar keuangan domestik, antara lain terjadinya arus modal asing keluar. Hal itu terjadi saat Presiden AS Donald Trump mengancam akan menaikkan bea impor hingga 10 persen sebagai kenaikan tarif untuk kedua kalinya dalam lika liku perang dagang dua negara raksasa itu selama dua tahun terakhir.
"Tapi tentunya masalah 'timing' dari pada kapan kita turunkan suku bunga akan kita lihat seandainya tidak membawa risiko ke depannya yang berakibat pada pencapaian target kita," ujar Dody.
Dody juga melontarkan sinyal bahwa selain kebijakan suku bunga, Bank Sentral juga berencana untuk melonggarakan kebijakan makroprudensial guna menumbuhkan sektor-sektor prioritas seperti sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah, ekspor, serta pariwisata.
Namun Dody masih enggan mengungkapkan rencana pelonggaran kebijakan makroprudensial itu.
"Salah satu pemikiran BI yakni dengan adanya kebijakan makroprudensiual yang terus akan kita lihat ke depannya terutama untuk sektor prioritas. Saya belum bisa katakan di sini. Sektor yang lainnya juga kita keluarkan kebijakan melalui sistem pembayaran misalnya melalui kebijakan di industri finansial berbasis teknologi (fintech)," ujar dia.
Adapun Bank Sentral memulai pelonggaran kebijakan moneter sejak awal tahun dengan pelonggaran likuiditas yang diikuti penurunan Giro Wajib Minumum Rupiah dan penurunan suku buga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75 persen.
Penurunan suku bunga kebijakan dilakukan setelah delapan bulan BI menahan suku bunga di enam persen, dan setelah melihat sinyalemen rezim kebijakan moneter longgar oleh sejumlah negara untuk mengantisipasi perlambatan pertumbuhan ekonomi global.
Dari domestik, Bank Sentral menganggap laju inflasi yang semakin terkendali semakin mendukung langkah BI untuk memulai penurunan suku bunga acuan tahun ini.
BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi domestik pada 2019 dapat berada di kisaran 5,0-5,4 persen. Pelonggaran likuiditas dan suku bunga diharapkan BI dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi dan mendorong pertumbuhan kredit perbankan ke 12 persen (year on year/yoy).
Baca juga: Rupiah menguat seiring peluang penurunan kembali suku bunga acuan BI
Baca juga: BI tegaskan sinyal penurunan kembali suku bunga acuan
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019