"Mak Itam siap untuk beroperasi kapan saja. Bahkan untuk kebutuhan harian pun masih sanggup," kata Kepala PT KAI Divre II Sumbar, Fredi Firmansyah, di Padang, Rabu.
Ia menyatakan ujicoba kelaikan jalan, terakhir kali dilakukan pada Juli 2019. Lokomotif dengan nomor seri E10 60 itu dipanaskan, dan dijalankan hingga rel depan dipo.
Persoalannya, kata Fredi, adalah izin operasi untuk "Mak Itam" hingga saat ini belum ada. Izin dikeluarkan oleh Ditjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan.
Selain itu rel kereta api hingga terowongan juga harus benar-benar dalam kondisi baik agar keselamatan penumpang bisa terjamin.
"Keselamatan penumpang adalah prioritas pertama. Jika tidak ada jaminan, meski Mak Itam dalam kondisi baik, tidak akan dioperasikan," ujarnya.
Baca juga: Mengincar wisatawan milenial dengan warisan dunia
Baca juga: Cerita KPK dan kereta api legendaris "pemanjat" dinding Sumatera
Pengoperasian Mak Itam juga tergantung pada kesiapan Pemkot Sawahlunto karena sistem antara PT KAI dengan pemerintah daerah adalah sewa.
Biaya operasional akan ditanggung oleh pemerintah daerah sementara PT KAI bertanggung jawab untuk masinis dan pemeliharaan.
Sebagai gambaran, batu bara yang dibutuhkan untuk perjalanan Mak Itam dari Sawahlunto ke Muaro Kalapan pulang pergi sekitar 1 ton dengan harga sekitar Rp1,2 juta. Itu di luar biaya operasional lain.
Manager Sarana PT KAI Divre II Sumbar, Maruchan menyebut gambaran biaya operasional kereta api uap di Ambarawa saat ini Rp5 juta pulang pergi ke Bedono.
Pemerhati pariwisata Sumbar Nofrin Napilus mengatakan Mak Itam akan sangat mendukung posisi bekas tambang Ombilin Sawahlunto sebagai Warisan Budaya Dunia. Seharusnya, pemerintah daerah memberikan dukungan penuh untuk hal itu.*
Baca juga: Sawahlunto minta Kemenpar hidupkan loko kuno "Mak Itam"
Pewarta: Miko Elfisha
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019