Ombudsman pertanyakan pembatasan IMEI

15 Agustus 2019 12:16 WIB
Ombudsman pertanyakan pembatasan IMEI
Anggota Ombudsman RI, Alvin Lie (ANTARA/Laily Rahmawaty)
Ombudsman RI mempertanyakan kebijakan pembatasan International Mobile Equipment Identity (IMEI) oleh pemerintah serta penerbitan Rencana Peraturan Menteri (RPM) terkait kebijakan itu yang dinilai tergesa-gesa pada tanggal 17 Agustus 2019.

"Saya mempertanyakan urgensi dari peraturan ini, kalau memang tujuannya untuk melindungi pendapatan negara cukup dicegat di hulu ketika barang (hp) itu masuk ke Indonesia, atau ketika barang itu didistribusikan," kata Anggota Ombudsman RI, Alvin Lie usai acara Ngopi Bareng Ombusman RI, di Gedung Ombudsman RI, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis.

Pemerintah berencana memblokir ponsel ilegal melalui nomor IMEI. Dengan penerapan aturan ini, siapapun yang membeli ponsel ilegal tidak akan bisa memasangkan kartu telepon yang dikeluarkan oleh penyedia layanan seluler di Indonesia. 

Baca juga: Jelang regulasi IMEI, ini cara cek ponsel Xiaomi resmi atau BM

Menurut Alvin, kebijakan ini berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat sebagai konsumen, masyarakat dengan toko atau penjual dan penjual dengan grosir.

Berkaca pada kebijakan Kominfo tentang kewajiban registrasi NIK dan KK yang waktu lalu sempat meresahkan masyarakat hingga kini tidak tuntas dan tidak jelas arahnya.

Sejak aturan itu ada, lanjut Alvin, masyarakat tetap diganggu dengan adanya sms-sms sampah dan penipuan yang terus menerus ada.

Baca juga: IMEI tidak terdaftar di database, apa artinya?

"Ini berpotensi konflik, bayangkan kalau ada warga dari NTT beli hp di Mall Ambasador, dibawa pulang ke kampungnya ternyata kena blokir, ini bagaimana penyelesaiannya," kata Alvin.

Pada tanggal 12 Agustus lalu, Ombudsman telah mengundang Kominfo untuk menjelaskan aturan tersebut.

Baca juga: Ponsel Anda legal atau tidak? cek status IMEI di situs ini

Gagasan pembatasan IMEI berasal dari Kementerian Perindustrian dengan pertimbangan melindungi industri dalam negeri dan mencegah kebocoran pajak maupun bea masuk.

Kemenperin berencana mengembangkan Sistem Informasi Basis Data IMEI Nasional (SIBINAS) yang akan dikelola sendiri oleh Kemenperin bukan Kominfo. Padahal ujung dari pemblokiran IMEI ada di Kominfo.

"Kami dapat data kalau tujuan aturan ini untuk mengamankan pendapatan negara itu tidak tepat," kata Alvin.

Karena, lanjut dia, sejak 2018 bea masuk handphone sudah 0 persen. Sehingga aturan ini dinilai hanya akan menambah kerepotan masyarakat sebagai konsumen.

"Kalau mau mengendalikan peredaran hp di negara ini akan lebih mudah dikendalikan di hulunya. Ketika masuk ke Indonesia mulai dari Bea cukai, dari pada memblokir IMEI yang berurusan dengan puluhan juta warga Indonesia," kata Alvin.

Alvin menilai langkah pemerintah membatasi IMEI dengan tujuan mengutamakan mengejar pendapatan negara dari pada melindungi kebutuhan warga akan penggunaan ponsel sebagai alat komunikasi dan juga usaha.

"Kami sangat menyayangkan, bahwa prioritas pemerintah kejar pajak yang biayanya sudah 0 persen, sedangkan kebutuhan rakyat diabaikan," kata Alvin.

Alvin juga mengatakan ada unsur ketergesa-gesaan antara tiga menteri (Kominfo-Kemenperin-Kemendag) untuk menerbitkan Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang pembatasan IMEI pada tanggal 17 Agustus 2019.

Ombudsman juga mempertanyakan standar keamanan bagi masyarakat terdampak, ketika membeli handphone tidak ada sinyal, atau membeli handphone dari luar. Dan dampaknya bagi wisatawan asing yang datang ke Indonesia membawa ponsel dari negaranya. Apalagi pemerintah menargetkan 20 juta wisatawan masuk Indonesia.

"Ternyata standarnya belum ada, tergesa-gesa menandatangani rancangan peraturan menteri itu," kata Alvin.

Alvin juga berharap aturan ini dibuat bukan hanya kemasan untuk meloloskan perusahaan yang mau masuk untuk mengelola IMEI dengan nominal dananya Rp200 miliar.

"Ada perusahaan menawarkan untuk mengelola IMEI dengan biaya Rp200 miliar. Semoga pengaturan ini bukan hanya kemasan untuk meloloskan perusahaan yang mau masuk ini," kata Alvin.
 

Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2019