Tidak mudah bagi para pendiri bangsa membuat gugusan kepulauan bernama Indonesia ini bersatu dan lepas merdeka dari cengkeraman penjajah selama ratusan tahun lama.
Setelah proses kristalisasi penuh darah yang begitu panjang dan penuh pengorbanan, pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia akhirnya memproklamirkan dirinya hadir sebagai satu bangsa merdeka, bersatu dan berdaulat bernama Indonesia yang terbentang dari Sabang di barat hingga Merauke di timur dan dari Pulau Miangas di utara sampai Pulau Rote di selatan.
Kini, 74 tahun setelah proklamasi 17 Agustus 1945 yang diperoleh dengan beragam cara (bersenjata dan politik), beragam cara juga masyarakat merayakan tonggak sejarah berdirinya bangsa bernama Indonesia tersebut.
Mulai dari mereka yang menapaktilas perjuangan ke berbagai spot sejarah, menggelar acara tari massal untuk mengkampanyekan persatuan sekaligus melestarikan budaya, hingga yang paling populer adalah merayakan dengan berbagai perlombaan khas “17-an” atau "agustusan".
Juga baca: Warna-warni perayaan HUT Ke-74 RI warga Jalan Kramat V Kecamatan Senen
Juga baca: Harapan Wali Kota Jakarta Timur pada HUT ke-74 RI
Di kompleks Kota Tua Jakarta misalnya, sekitar 200 penari dari berbagai komunitas dan kalangan melestarikan tari cokek di pelataran Museum Fatahillah yang merupakan akulturasi budaya Betawi, China dan Sunda yang nyaris hilang dalam menyambut hari kemerdekaan.
"Kami menggagas acara ini untuk mengembalikan lagi arti tari cokek yang sebenarnya," kata Ketua Indonesia ID Eva Simanjuntak, di Jakarta, Minggu.
Ia menjelaskan pelaksanaan tari cokek juga sekaligus untuk merayakan keberagaman Indonesia yang juga jadi semangat para pendiri bangsa 74 tahun silam. Karenanya para penari berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda dari anak-anak, remaja, orang tua, bahkan nenek-nenek.
"Karena kita beragam, kita berkebhinekaan, maka kita menjadi Indonesia," ujarnya.
Lain lagi dengan warga Kelurahan Pondok Kopi, Duren Sawit, Jakarta Timur, mereka mengadakan berbagai perlombaan khas 17-an seperti lomba panjat pinang, joget bangku, joget koran, memindah bendera ke botol, balap kelereng, memindahkan bola sesuai warna, memindahkan bola dengan menggunakan lutut dan lomba makan telur puyuh.
Warga yang datang juga terlihat terhibur dengan tingkah lucu peserta dari berbagai usia pada beragam lomba yang digelar di bantaran Kanal Banjir Timur ini, terutama yang paling meriah disaksikan adalah lomba panjat pinang.
"Bagus ya, sangat menghibur," kata Lulu salah satu warga setempat.
Senada dengan Lulu, Edwin, warga asal Pulogadung, Jakarta Timur, juga mengatakan acara tersebut sangat menghibur sehingga banyak orang datang untuk menyaksikannya.
"Wah seru sekali. Semoga acara ini bisa digelar lagi tahun depan," tuturnya, sambil tertawa riang saat salah satu peserta lomba jatuh ke sungai selama mengikuti perlombaan.
Bahkan saking serunya, tak tanggung-tanggung, perhelatan lomba 17-an oleh warga itu dilaksanakan dalam dua hari yaitu Sabtu (17/8/2019) dan hari Minggu ini yang juga menjadi berkah tersendiri bagi para pedagang di sekitar lokasi perlombaan yang mengaku bisa meraup untung hingga lebih dari tiga kali lipat.
Bagian diri bangsa
Perlombaan, baik melakukannya atau hanya menyaksikan tampaknya memang begitu dinikmati masyarakat Indonesia meski tiap tahun perlombaan tersebut terus diulang.
Menurut sejarawan JJ Rizal, hal itu tidak mengherankan karena secara historis perlombaan sudah familiar bagi masyarakat Indonesia. Sejak abad ke-16 sebagai bentuk kemurahan hati raja yang beralih fungsi saat kerajaan-kerajaan tersebut ditaklukkan pemerintah kolonial Belanda.
Saat pemerintahan kolonial, perlombaan diadakan sebagai bentuk perayaan, sedangkan pada masa penjajahan Jepang, perlombaan juga digunakan untuk membakar semangat.
Panjat pinang contohnya, sudah terdokumentasi ada di Indonesia sejak awal abad ke-20, pada masa penjajahan Belanda. Atau, balap karung yang terdokumentasikan pada masa penjajahan Jepang yang menjadi bukti keberadaan lomba-lomba tersebut sejak lama.
Di balik riuh tawa yang dihasilkan berbagai lomba tersebut, ada pelajaran yang bisa dipetik di dalamnya. Seperti balap karung yang mengingatkan masyarakat pada sulitnya masa penjajahan Jepang, hingga kebutuhan sandang tak mampu dipenuhi. Alhasil, karung goni digunakan sebagai penggantinya.
Lomba panjat pinang lekat dengan nilai gotong royong. Hal ini tampak jelas pada setiap orang yang saling membantu untuk bisa mencapai puncak dan mendapat hadiah. Selain itu, sulitnya mencapai puncak juga menunjukkan bahwa perlu ada upaya ekstra untuk mendapatkan apa yang kita harapkan, atau mungkin sekadar apresiasi.
Bagi Rizal, perlombaan ini penting dilestarikan karena terkandung banyak pelajaran, seperti kedisiplinan, sportivitas dan kerja keras. Selain itu, ada kenangan mengenai perjalanan panjang bangsa ini. Namun ada aspek yang lebih penting daripada sekadar melestarikan perlombaannya, yaitu melestarikan nilai-nilai positifnya, serta tidak melupakan sejarah bangsa Indonesia.
“Nilai kebijaksanaannya baik sekali contohnya di panjat pinang. Tapi panjat pinangnya saat ini masih bertahan, tetapi kian hari kian terasa yang kita tidak bisa bohong, semangat di dalamnya yakni gotong royong dan kebersamaan kian menipis,” ucapnya.
Nilai sejarah
Sejarawan lain, Asep Kambali, berbeda pendapat mengenai perlombaan itu. Baginya, perlombaan semacam panjat pinang, balap karung hingga makan kerupuk selayaknya tidak lagi dilakukan untuk merayakan hari kemerdekaan.
“Saya tidak bilang ini salah, tapi permainan tersebut tidak mendekatkan kita dengan sejarah-sejarah bangsa kita,” kata pendiri Komunitas Historia Indonesia itu.
Ia mengakui perlombaan-perlombaan ini memang sudah ada sejak lama. Panjat pinang, disebutkannya, sudah ada sejak zaman Dinasti Qing dan Dinasti Ming di China yang menyebar sampai Indonesia hingga masyarakat sudah familiar dengan permainan tersebut.
Ia pun membenarkan ada nilai penting dalam panjat pinang, seperti gotong-royong dan perjuangan, namun tidak ada pelajaran sejarah di dalam perlombaan itu sama seperti lainnya.
Perlombaan lain yang dia nilai tidak mengandung pelajaran sejarah, adalah balap karung menjadi simbol tanam paksa dan makan kerupuk yang menggambarkan kemelaratan bangsa Indonesia di masa lampau, yang dianggap tidak pantas lagi dilakukan di negara ini.
“Karena kita sudah merdeka. Mestinya kita buat program yang lebih mendidik, lebih bermartabat, yang lebih menjadikan anak-anak kenal dengan sejarah,” tuturnya.
Ia mengakui fakta Indonesia pernah dijajah, akan tetapi menurut dia, perlu ada pengenalan lebih jauh mengenai sejarah Indonesia yang lebih dari sekedar informasi bahwa Indonesia pernah dijajah hingga generasi muda tisak semakin jauh dari sejarahnya sendiri.
“Coba tanya siapa pahlawan dalam uang Rp10.000 lama dan baru? HR Rasuna Said itu cewek atau cowok? Tanya dech, orang Indonesia tahu atau tidak tahu arti kata Indonesia? Siapa yang kasih nama Indonesia? Itu tidak ada dalam panjat pinang belajar itu,” katanya.
Ia berpandangan permainan-permainan ini memang sudah ada secara historis, tapi jangan sampai seolah-olah wajib dilakukan untuk merayakan kemerdekaan. Padahal, permainan sebenarnya bebas untuk dimodifikasi.
Gaya alternatif
Meski melayangkan kritik, dia tak hanya diam tanpa gagasan. Dia menilai harus ada modifikasi perlombaan untuk merayakan kemerdekaan yang lebih memberikan pelajaran sejarah bagi pesertanya.
“Misalnya dengan lomba mirip pahlawan, lomba lagu-lagu perjuangan, lomba baca teks proklamasi, lomba baca teks pancasila, lomba cerdas cermat sejarah atau perhelatan yang merekatkan persatuan. Banyak sekali program yang bisa kita bikin supaya anak-anak muda kita makin melekat dengan republik ini, dan mereka menjadi belajar sejarah,” tuturnya.
Secara historis, panjat pinang pada masa kolonialisme memang hanya mampu dibuat orang Belanda yang terhitung kaya pada masa itu dengan peserta adalah orang Indonesia yang miskin. Permainan ini diadakan sebagai sarana hiburan bagi orang-orang Belanda.
Juga baca: Sandiaga kunjungi perayaan kemerdekaan di Jalan Jaksa
Juga baca: Dubes negara sahabat hadiri perayaan HUT RI di Baku
“Jika disebut kurang menghibur, lomba lagu-lagu perjuangan, lomba baca teks proklamasi, kalau tidak bisa, semua ketawa-ketawa juga. Bapak-bapak disuruh baca teks Pancasila tidak hafal, ditertawakan karena lucu, ada lucunya juga. Jadi tidak mesti yang benar itu kaku dan enggak lucu. Yang benar juga bisa lucu,” ujarnya.
Menapak tilas dan mengenang masa lalu dengan perlombaan-perlombaan khas 17-an memang seperti sudah mendarah daging bagi masyarakat Indonesia dalam merayakan hari kemerdekaan. Dan itu tidak salah dengan hiburan yang dihasilkannya.
Namun di tengah gelak tawa yang dihasilkan dalam setiap perlombaan itu juga, harus dipikirkan apa yang akan dipesankan pada generasi penerus bangsa Indonesia ke depan. Karena hidup sebagai manusia Indonesia bukan sekedar hak tapi juga menjadi wajib bagi setiap masyarakat Indonesia itu sendiri.
Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019