Aktivis lingkungan menyoroti rencana Pemerintah Provinsi Bengkulu mengalihfungsikan hutan yang menjadi habitat terakhir satwa langka dilindungi gajah Sumatera (Elephas maximus Sumatranus) di wilayah Bengkulu Utara dan Mukomuko seluas 4.600 hektare menjadi areal non-hutan dalam perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
“Ini tindakan sesat pikir dari Gubernur Bengkulu yang mengakomodir usulan bupati untuk mengalihfungsikan hutan Bentang Seblat yang merupakan rumah terakhir gajah Sumatera di Bengkulu,” kata Ketua Yayasan Kanopi Bengkulu, Ali Akbar di Bengkulu, Selasa.
Saat menggelar keterangan pers di Sekretariat Walhi Bengkulu terkait alih fungsi kawasan hutan seluas 53 ribu hektare yang masuk dalam revisi RTRW Provinsi Bengkulu, Ali mengatakan pemerintah daerah justru tidak konsisten dengan kebijakannya sendiri.
Ali mengatakan di kawasan Bentang Seblat akan dibentuk Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Koridor Gajah sebagai upaya menyelamatkan gajah yang tersisa karena habitatnya semakin terfragmentasi.
Pembentukan koridor gajah menjadi sangat penting mengingat hampir 80 persen wilayah jelajah gajah berada di luar kawasan konservasi. Karena itu, koridor yang dibangun akan menjadi penghubung antarwilayah yang terputus sehingga antarkelompok gajah dapat bertemu atau terhubung.
“Justru di wilayah target KEE ini pula pemerintah daerah mengusulkan pelepasan kawasan hutan seperti TWA Seblat seluas 1,900 hektare menjadi areal non-hutan ini bencana bagi gajah,” kata Ali yang merupakan Sekretaris Forum KEE Koridor Gajah Bengkulu.
Menurut dia, kondisi ini menjadi potret ketidaksinkronan antara rencana pengelolaan kawasan hutan mulai dari Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Mukomuko dan Provinsi Bengkulu.
Saat ini, lanjut Ali, populasi gajah liar hutan Bengkulu diperkirakan tidak lebih dari 100 ekor sehingga perubahan fungsi hutan ini dikhawatirkan semakin menyulitkan program pamerintah mencapai target peningkatan populasi satwa langka gajah Sumatera.
Direktur Kelopak Bengkulu, Dedy Kurniadi menilai usulan perubahan fungsi hutan yang disampaikan pemda ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan patut dicurigai dominan mengakomodir kepentingan korporasi.
“Karena tidak ada kajian komprehensif tentang urgensi perubahan fungsi hutan,justru penurunan kawasan hutan ini akan memperparah potensi bencana ekologis di Bengkulu,” ucapnya.
Sementara Direktur Ulayat, Martian menilai usulan perubahan fungsi hutan ini menunjukkan ketidakmampuan pemerintah daerah dan aparat hukum menindak tegas pelanggaran kejahatan kehutanan, justru terbalik, malah diakomodir.
“Ini menjadi preseden buruk juga dalam penegakan hukum lingkungan dan kejahatan kehutanan sehingga perubahan fungsi hutan ini tidak boleh terjadi,” ucapnya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi Bengkulu, Sorjum Ahyar dalam keterangan tertulisnya mengatakan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dilakukan untuk memenuhi tuntutan pembangunan serta aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi dan manfaat kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan.
Perubahan fungsi kawasan hutan kata dia berdasarkan usul dari para bupati dan wali kota yang telah disampaikan ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Usul perubahan peruntukan dan fungsi sekitar 53 ribu hektare kawasan hutan menjadi non-hutan, sedangkan perubahan fungsi sekitar 2.067 hektare kawasan hutan dari Cagar Alam menjadi Taman Wisata Alam (TWA) dan perubahan fungsi 7.271 hektare kawasan hutan Taman Buru (TB) menjadi TWA.
Baca juga: Aktivis bentangkan spanduk tolak tambang di habitat gajah Bengkulu
Baca juga: Bentang Seblat habitat terakhir gajah di Bengkulu
Baca juga: Habitat Gajah di Bengkulu Makin Meyempit
Pewarta: Helti Marini S
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2019