Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyatakan naungan pengungsian, termasuk hunian sementara, bila tidak ramah perempuan dan anak, menjadi salah satu faktor penghalang anak-anak memperoleh ASI eksklusif.Pemberian bantuan susu formula membuat sang Ibu akhirnya memberikan susu formula kepada bayinya. Akhirnya pemberian ASI eksklusif bagi bayi yang belum berumur enam bulan menjadi tidak terpenuhi
"Iya. Dalam situasi darurat dan pascabencana, ibu yang sedang menyusui biasanya mengalami trauma secara psikis sehingga memengaruhi produksi ASI-nya. Selain itu, kondisi di tempat pengungsian yang tidak ramah terhadap perempuan dan anak juga memperparah kondisi tersebut," ucap Asisten Deputi Pemenuhan Hak Sipil, Informasi, dan Partisipasi Anak KPPPA Lies Rosdianty terkait Pekan ASI Sedunia 2019 ketika dihubungi dari Palu, Jumat.
Pernyataan Lies Rosdianty itu juga berkaitan dengan penanggulangan pascagempa, tsunami, dan likuefaksi yang menimpa Kota Palu, Kabupaten Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong, khususnya terkait dengan pemenuhan hak-hak anak dan perempuan.
Ia menyatakan adanya pemberian susu formula berbagai merek kepada masyarakat dalam situasi darurat dan pascabencana menjadi faktor penunjang anak tidak memperoleh ASI.
"Pemberian bantuan susu formula membuat sang Ibu akhirnya memberikan susu formula kepada bayinya. Akhirnya pemberian ASI eksklusif bagi bayi yang belum berumur enam bulan menjadi tidak terpenuhi," ujar dia.
Kondisi itu, kata dia, harus ditanggapi secara serius oleh pemerintah dengan menyediakan tempat pengungsian yang ramah perempuan dan anak.
Hal itu, katanya, juga harus menjadi perhatian semua pihak, yaitu dengan mengakomodasi kebutuhan spesifik perempuan dan anak, antara lain dengan menyediakan ruangan khusus untuk menyusui di naungan pengungsian.
Lies menyatakan sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 banyak kemajuan yang telah ditunjukkan oleh Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan Konvensi Hak Anak.
Putusan itu mengacu pada Konvensi Hak-hak Anak yang telah disahkan PBB (Convention On The Rights of The Child) untuk memberikan perlindungan terhadap anak dan menegakkan hak anak di seluruh dunia pada 20 November 1989. Konvensi Hak Anak merupakan wujud nyata upaya perlindungan terhadap anak, agar anak terpenuhi haknya dan mendapat perlindungan khusus.
Konvensi Hak Anak Pasal 3 Ayat 1 menyebutkan bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak, baik yang dilakukan oleh lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, lembaga pengadilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, kepentingan terbaik bagi anak harus dijadikan pertimbangan utama.
Selain itu, dalam hal kesehatan Pasal 24 Ayat 1 menyebutkan bahwa negara-negara mengakui hak anak untuk menikmati standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai dan fasilitas perawatan apabila sakit dan pemulihan kesehatan.
"Nah, terkait dengan Konvensi Hak Anak, salah satu hak anak dalam bidang kesehatan adalah mendapatkan ASI sejak lahir. Pemberian ASI pada bayi mempunyai banyak manfaat seperti menurunkan angka kematian bayi, menurunkan angka kesakitan bayi, mengoptimalkan pertumbuhan, membantu perkembangan kecerdasan, dan memberikan sejumlah manfaat bagi ibu seperti membantu memperpanjang jarak kehamilan serta meningkatkan ikatan ibu dan bayi," kata Lies.
Ia memaparkan berdasarkan data BPS hasil Susenas 2017, sekitar 94,56 persen anak usia di bawah dua tahun pernah diberi ASI. Artinya masih ada sekitar 5.44 persen anak usia di bawah dua tahun yang tidak pernah diberi ASI, sedangkan anak usia dua tahun yang masih diberi ASI 83,53 persen. Jadi meskipun 94.56 persen anak di bawah dua tahun pernah diberikan ASI, ada 11.03 persen di antaranya sudah tidak diberikan ASI.
Baca juga: Butuh peran ayah terkait pemenuhan hak anak atas ASI
Baca juga: Pemberian ASI eksklusif bayi dapat mencegah kekerdilan di Palu
Baca juga: Menkes minta dunia usaha buatkan ruang laktasi
Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019