Dengan menggandeng pakar geologi dari Universitas Indonesia, klaim yang merupakan jawaban atas polemik yang berkembang terkait penggunaan batu terumbu karang yang menjadi elemen Gabion.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi DKI Jakarta Suzi Marsitawati dalam keterangannya, Senin, menyampaikan bahwa batuan yang digunakan sebagai bahan utama instalasi gabion merupakan batu gamping, yakni batu karang yang sudah mati berusia jutaan tahun.
Baca juga: Warga sambut instalasi gabion pengganti Getah Getih
"Menanggapi informasi yang viral penggunaan terumbu karang di instalasi gabion, saya nyatakan itu tidak benar, karena yang kami gunakan adalah batu gamping sesuai dengan konsep yang telah disiapkan Dinas Kehutanan," kata Suzi dalam keterangan yang diterima di Jakarta.
Suzi mengaku pihaknya telah berkomunikasi dan berkordinasi dengan para pakar gelologi, aktivis lingkungan dan akademisi untuk mengecek batuan yang digunakan dalam instalasi gabion, di mana hasilnya pun serupa bahwa tidak ada terumbu karang yang digunakan dalam instalasi tersebut.
Baca juga: Instalasi batu gabion pengganti Getah Getih dipercantik
"Jadi kami sudah berkomunikasi dengan pakar geologi, aktivis lingkungan dan akademisi, kami periksa dan telah dinyatakan dari ahli geologi Universitas Indonesia bahwa itu adalah batu gamping yang awalnya dari batu karang dan terproses jutaan tahun menjadi batu gamping jadi sama sekali tidak benar kalau yang kami gunakan adalah terumbu karang," tuturnya.
Senada dengan Suzi, pakar sekaligus dosen Geologi Universitas Indonesia, Asri Oktavioni Indaswari yang secara langsung meninjau batuan di instalasi gabion pada Minggu (25/8), juga menyatakan hal yang sama.
"Setelah saya lihat, saya perhatikan ternyata batu gamping terumbu, dia terumbu karang dulunya tapi jutaan tahun lalu, kemudian dia mati dan dia mengalami proses geologi mineraliasasi dan berubah jadi batu yang lebih kita kenal sebagai batu gamping atau batu koral," tuturnya.
Asri melanjutkan bahwa posisi batuan ini di alam juga tidak terdapat di laut melainkan di pegunungan. Seperti yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia seperti halnya di Lamongan, Gresik, Tuban dan masih banyak lagi.
"Posisi batu gamping ini-pun bukan lagi di pantai tapi di gunung seperti penambangan di Tuban dan Lamongan, Gresik, ini karena adanya patahan lempeng bumi sehingga daerah yang dulunya laut menjadi daratan dan batuan ini terendap dan bentuknya tetap mirip dengan batuan karang yang ada di laut," ujarnya.
Selain itu, menurut Asri penggunaan batuan gamping atau batu koral yang berasal dari terumbu karang yang telah mati tidak melanggar dan sudah sesuai ketentuan penggunaan batuan.
"Sehari-harinya batu itu dipakai untuk keramik dan diaplikasikan di dinding mal, hotel yang memiliki kesamaan dengan batu gabion, dan untuk undang-undangnya diatur oleh Kementrian ESDM, jadi untuk pertambangan mineral dan bahan galian C, dia diperjualbelikan bebas dan tidak melanggar konservasi atau merusak ekosistem," ujar Asri.
Ke depannya, Dinas Kehutanan Provinsi DKI Jakarta akan menambahkan narasi dan informasi di sekitar ornamen atau instalasi yang dipasang di tempat-tempat publik sehingga dapat menjadi sarana edukasi bagi warga.
"Kita sekarang bergandengan tangan bersama aktivis lingkungan dan akademisi akan membuat narasi, yang akan kita susun dan dibuat di seputaran sekitar instalasi ini sehingga masyarakat tahu batu gamping itu prosesnya bagaimana dan kepedulian masyarakat terhadap terumbu karang kita akan buat narasi itu," tutur Suzi.
Suzi juga menambahkan, telah berkomunikasi baik dengan Riyanni Djangkaru. Menurutnya, apa yang disampaikan Riyanni adalah masukan, dirinya dan jajaran Dinas Kehutanan terbuka terhadap semua masukan yang positif.
Suzi menyatakan ke depan mereka sepakat untuk berkolaborasi untuk memberikan edukasi terhadap masyarakat terkait dengan isu-isu lingkungan.
Sebelumnya, Pemerhati lingkungan Riyanni Djangkaru mempersoalkan material instalasi gabion di Bundaran Hotel Indonesia (HI). Menurutnya, instalasi tersebut dibuat dari terumbu karang yang dilindungi.
Riyanni awalnya mengungkap persoalan ini lewat akun Instagram-nya @r_djangkaru yang dipantau Sabtu (24/8). Dalam akun Instagramnya, dia mengaku terkejut karena instalasi gabion adalah tumpukan batu karang.
"Jantung saya tiba-tiba berdetak lebih kencang. Tumpukan karang-karang keras yang sudah mati. Ada karang otak dan berbagai jenis batuan karang lain yang amat mudah dikenali," tulis Riyanni yang juga mantan pembawa acara di televisi ini.
"Saya jadi bertanya-tanya, apakah perlu ketika sebuah instalasi dengan tema laut dianggap harus menggunakan bagian dari satwa dilindungi penuh? Apakah penggunaan karang yang sudah mati ini dapat dianggap seakan "menyepelekan" usaha konservasi yang sudah, sedang dan akan dilakukan? Darimana asal dari karang-karang mati dalam jumlah banyak tersebut? Ekspresi seni adalah persoalan selera, tapi penggunaan bahan yang dilindungi Undang-undang sebagai bagian dari sebuah pesan,mohon maaf, menurut saya gegabah. ???? #sekedarmengingatkan," sambungnya di bagian akhir postingan tersebut.
Riyanni mengaku sangat kaget mendapati fakta tersebut. Sebab, menurutnya, terumbu karang dilindungi penuh misalnya lewat Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya juga Undang-Undang 27/2007 tentang Pengelolaan Wilyah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil.
Instalasi Gabion dibuat oleh Dinas Kehutanan DKI Jakarta pada 16 Agustus 2018 untuk menyambut perayaan HUT ke-74 RI. Instalasi Gabion dipasang dengan anggaran Rp150 juta. Ornamen ini dilengkapi tanaman hias penyerap polutan yang disusun berjejer rapi.
Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2019