"Menkominfo harus segera membenahi ini untuk setidaknya mengembalikan jargon Revolusi Industri 4.0 ke dalam jalur yang konstruktif," kata peneliti bidang Politik The Indonesian Institute itu di Jakarta, Kamis.
Dia mengatakan upaya pemerintah merespon pergerakan di Papua dengan memutus jaringan atau akses telekomunikasi dan informasi menimbulkan pertanyaan besar.
Baca juga: Pemprov Papua berharap layanan internet segera dipulihkan
Alasannya, kata dia, tindakan itu diambil dalam gembar-gembor Revousi Industri 4.0 yang mengedepankan teknologi, data, informasi serta digitalisasi sebagai rujukan pengambilan keputusan.
"Di mana posisi kemajuan 4.0 ini? Saat pengambilan keputusan terhadap kondisi suatu konflik malah bernuansa otoritarian, menyempitkan bahkan menghilangkan opsi informasi serta menunggalkan kebenaran sementara pemerintah adalah aktor yang memiliki akses pada sumber daya tersebut," katanya.
Jika tindakan itu terus dilanjutkan, kata dia, maka saudara di Papua akan melihat Revolusi Industri 4.0 sebagai sebuah proses transisi yang membuat pemerintahan Indonesia yang reaksioner menjadi lebih dominan karena kuasa, otoritas dan kedekatannya pada sumber daya.
Baca juga: Papua Barat kondusif, jaringan internet masih terblokir
Untuk itu, dia berharap agar tidak ada pembatasan telekomunikasi di Papua karena pada dasarnya mendapatkan informasi merupakan hak asasi sehingga seseorang dapat berdikari menentukan tindakan dalam hidupnya dari informasi yang didapat.
Rifqi juga mendorong agar pemerintah memberikan akses peliputan konflik di Papua untuk para jurnalis. Mencorongkan sumber informasi hanya kepada versi pemerintah hanya akan memperkuat citra otoritarianisme dalam pemerintahan.
Dia juga mendorong agar oknum aparat maupun yang terlibat dalam pemicu tindakan rasisme ditindak dengan tegas
"Perlu juga memberikan edukasi pada aparat agar bisa terhindari dari tindakan serupa di kemudian hari," katanya.
Baca juga: KSP nilai pembangunan di Papua dicemaskan kelompok bersenjata
Kapolri temui para tokoh Papua cari solusi damai
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2019